Keberadaan kebudayaan Jawa pada saat ini seolah mulai diabaikan sebagian masyarakat. Meski demikian, masih terdapat pihak yang berusaha untuk mempertahakan nilai-nilai dalam kebudayaan Jawa untuk pembentukan karakter diri.
Guru Besar bidang Ilmu Teori Sosial Modern, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Hotman M Siahaan dalam paparannya saat Kongres Kebudayaan Jawa (KKJ) II di Surabaya, Kamis (22/11) menyampaikan, pentingnya kebudayaan sebagai variabel dalam kemajuan masyarakat tidak perlu diperdcbatkan.
Bahkan teori-teori modemisasi dalam aliran dan perspektif manapun selalu menyebutkan betapa pentingnya nilai-nilai budaya. Masalahnya adalah pemahaman terhadap nilai-nilai budaya mana yang mendukung kearah percepatan pembangunan atau modemisasi, dan nilai-nilai budaya mana yang menghambat kemajuan.
Perbedaan tersebut berlanjut hingga perdebatan tentang mana yang harus didahulukan? Apakah mengubah nilai-nilai budaya yang menghambat modemisasi ataukah dengan membongkar struktur sosial yang ada, hingga demikian nilai-nilai budaya yang menghambat itu akan ikut berubah?.
“Kebudayaan bukanlah variabel yang berdiri sendiri. Kebudayaan dipengaruhi oleh banyak faktor yang lain, seperti geografl, politik, ekonomi, bahkan tingkah laku sejarah,” ungkapnya, seperti dilaporkan Jatimnews Room.
Perubahan-perubahan kelembagaan yang seringkali didesakkan oleh politik misalnya, dapat mempengaruhi kebudayaan.
Masalah yang seringkali timbul dalam hal ini adalah sampai sejauhmana perubahan budaya mesti diintegrasikan ke dalam pembangunan ekonomi dan bahkan politik secara konseptual, agar memiliki strategi yang terencana, sampai pada program konkrit.
Masalah ini seringkali menjadi dilema ketika inisiatif dari perubahan-perubahan tersebut datang dari negara, bukan dari masyarakat.Perdebatan antara pentingnya peran kebudayaan dibanding peran ekonomi atau politik dalam menghadapi perubahan masih berlangsung hingga saat ini.
Di dalam pemahaman kebudayan hanya terbatas sebagai kesenian dan produknya, bahkan hanya sebatas peninggalan kuno atau artefak, maka bisa dipahami kalau peran kebudayaan selalu lebih terbelakang dibandingperan ekonomi atau politik.
“Membicarakan problem kebudayaan dalam menghadapi dinamika masyarakat kontemporer, kita akan dihadapkan pada permasalahan bagaimana dinamika masyarakat kontemporer yang dilanda arus globalisasi, yang menurut sosiolog Ulrich Beck, ditandai oleh fenomena deteritorialisasi,” tuturnya. (jnr)