Perceraian dalam rumah tangga sering kali menimbulkan suatu trauma tersendiri bagi sang anak. Ketimpangan atau kehilangan salah satu sosok orang tua sedikit banyak bisa menimbulkan perubahan cara berfikir dan laku si anak.
Namun apakah semua dampak perceraian akan berdampak buruk? Apakah anak akan merasa dendam dan trauma pada keadaan yang ada?
Sanny Prakosa Wardhana SPsi, psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) menuturkan bahwa seringkali anak menjadi korban perceraian rumah tangga.
Dalam kasus yang selama ini ia tangani seputar perceraian, kebanyak keluhan yang diterima ialah sang anak mengalami perubahan dalam berperilaku dan berfikir.
Keadaan ini ditimbulkan karena kebanyakan anak korban perceraian mengalami kekosongan sosok yang sering ia temui ketika percerain terjadi. Sang anak pun akan jarang bertemu sosok tersebut karena sudah terpisah rumah.
Selanjutnya, Sanny juga menambahkan bahwa seorang anak yang terbiasa hidup bersama ayah dan ibunya, kemudian salah satu dari mereka tidak lagi berada dalam satu rumah, hal tersebut bisa menimbulkan masalah emosional pada psikis sang anak.
“Maka dari itu penting bagi orang tua untuk mengungkapkan semuanya pada anak dengan cara yang bisa diterima agar anak pun bisa menerima kenyataan yang ada,” ungkap Sanny seperti dirilis PIH Unair.
Sepatutnya, tambah Sanny, peran kedua orang tua tidak boleh serta merta hilang sering perceraian. kasih sayang yang imbang harus selalu dicurahkan pada buah hati, apalagi buah hati masih menginjak usia-usia pertumbuhan.
Sanny berpendapat, komunikasi dalam keluarga merupakan penentu pembentukan sikap dan cara berfikir anak dalam kehidupan sehari-hari. Maka, ketika perceraian terjadi para orang tua harus menjadi bagian utama dalam hal tersebut dengan pendekatan-pendekatan yang dibutuhkan oleh anak.
Orang tua, menurutnya harus bisa hadir di setiap pertumbuhan anak, tetap jaga koneksi dan komunikasi meski tidak sedang bersama sang anak.
“Kemudian orang tua juga perlu fokus pada solusi jika nantinya terjadi perubahan ataupun permasalahan yang ada pasca perceraian. Jangan bawa anak larut dalam masalah orang tua,” terang Sanny.
Bagaimana sisi anak?
Tidak bisa dipungkiri, perceraian tambah Sanny akan membuat anak merasakan berbagai emosi yang bahkan bisa dibawa hingga ke kehidupannya mendatang. Entah itu dendam pada masa lalu atau bahkan trauma yang masih terpatri.
Sanny mengatakan, Anak korban perceraian memang mengalami hal yang lebih sulit dari anak-anak dari keluarga utuh. Namun, hal tersebut seharusnya bisa menjadikan sang anak hidup lebih mandiri dan tetap terus melanjutkan hidup.
“Tak sedikit anak korban perceraian yang bisa survive dan bisa keluar dari zona kesedihan menjadi pribadi yang lebih baik,” tegasnya.
Selanjutnya, Sanny kembali menegaskan bahwa anak akan mengalami tekanan yang berat. Bahakan hal itu akan terasa lebih berat jika sang anak terus merasa terpuruk kesedihan yang mendalam dan tak berkesudahan. Hal inilah yang bisa memacu depresi bahkan bunuh diri.
Namun, perlu disadari bahwa anak korban perceraian bukanlah jiwa yang lemah yang patut bersedih dengan waktu lama dan tak berbuat apa-apa. Anak korban perceraian harus berani menanggalkan kesedihan dan keterpurukan demi masa depan.
“Anak perlu mendapatkan pengetahuan rohani guna mempertebal iman dan takwa. Sehingga anak menerima realita bahwa selalu ada makna dibalik semua pemberian Tuhan,” pungkas Sanny. (ita)