Blok Rokan Kembali ke Ibu Pertiwi
EKONOMI BISNIS PERISTIWA

Blok Rokan Kembali ke Ibu Pertiwi

Setelah hampir 50 tahun dikelola PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI), Blok Rokan akhirnya diserahkan ke PT Pertamina (Persero) tahun 2021 mendatang.

Pemerintah telah memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak PT CPI dan memberikan hak pengelolaan ladang minyak tersebut kepada PT Pertamina (Persero).

“Alhamdulillah Pemerintah sudah memutuskan siapa yang akan mengelola Blok Rokan, setelah melihat proposal yang dimasukkan pada hari ini, Selasa, jam 17:00 WIB, maka Pemerintah melalui Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan pengelolaan Blok Rokan mulai tahun 2021 selama 20 tahun kedepan akan diberikan kepada Pertamina,” ujar Wakil Menteri ESDM, Acandra Tahar dalam konferensi pers kemarin, Selasa (31/7).

Dari sisi komersial, Pertamina dalam proposalnya mencantumkan signature bonus sebesar USD 784 juta atau sekitar Rp 11,3 triliun, komitmen kerja pasti sebesar USD 500 juta atau sekitar Rp 7,2 triliun dan potensi pendapatan negara selama 20 tahun kedepan sebesar USD 57 milyar atau sekitar Rp 825 triliun.

“Potensi pendapatan negara ini dapat menjadi pendapatan dan kebaikan bagi kita dan bangsa Indonesia,” lanjut Arcandra.

Selanjutnya, setelah 100% pengelolaan dipegang oleh Pertamina, sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM, maka 10% akan menjadi participating interest (PI) Pemerintah Daerah melalui Badan Usaha Daerah (BUMD) yang ditunjuk.

Blok Rokan adalah ladang minyak dengan cadangan paling besar yang pernah ditemukan di Indonesia, saat ini Blok Rokan menyumbang 26% dari total produksi nasional.

Blok yang memiliki luas 6.220 kilometer ini memiliki 96 lapangan dimana tiga lapangan berpotensi menghasilkan minyak sangat baik, yaitu Duri, Minas dan Bekasap.

Cadangan minyak yang dimiliki Blok Rokan mencapai 500 juta hingga 1,5 miliar barel oil equivalent tanpa Enhance Oil Recovery atau EOR.

Empat Pertimbangan
Arcandra Tahar mengungkapkan latar belakang keputusan Pemerintah. Ada 4 (empat) pertimbangan fundamental yang diambil setelah mengevaluasi proposal yang diajukan PT Pertamina, yaitu signature bonus, komitmen kerja pasti, pontensi pendapatan negara dan diskresi Menteri ESDM.

Pertama, Proposal Pertamina mengajukan bonus tanda tangan (signature bonus) sebesar USD 784 juta atau sekitar Rp 11,3 triliun.

Kedua, besaran nilai komitmen kerja pasti untuk investasi yang diberikan Pertamina selama 5 tahun awal senilai USD 500 juta atau sekitar Rp 7,2 triliun.

Ketiga, meningkatnya potensi pendapatan negara selama 20 tahun negara sebesar USD 57 miliar atau sekitar Rp 825 triliun.

Keempat, diskresi Menteri ESDM. Keputusan diskresi ini didasarkan pada perubahan sistem fiskal dari Cost Recovery menjadi Gross Split.

“Karena ini Gross Split, Pertamina meminta diskresi sebesar 8% dan Pemerintah sepakat usulan tersebut,” ujar Arcandra. Diskresi di sini artinya tambahan bagi hasil (split) yang diminta oleh kontraktor kepada Pemerintah agar keekonomian proyek lebih baik. (sak)