Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang dipimpin oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, di Jakarta, Rabu (30/5), memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4,75% dari sebelumnya 4,50%, suku bunga Deposit Facility (DF) sebesar 25 bps menjadi 4,00%, dan suku bunga Lending Facility (LF) sebesar 25 bps menjadi 5,50%.
“Keputusan Dewan Gubernur BI ini berlaku efektif mulai tanggal 31 Mei 2018,” tulis Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman, dalam siaran persnya Rabu (30/5) sore.
Menurut Agusman, keputusan untuk menaikkan bunga acuan itu disambut untuk memperkuat stabilitas nilai tukar terhadap perkiraan kenaikan suku bunga AS yang lebih tinggi, dan meningkatnya risiko di pasar keuangan global.
Bank Indonesia, tegas Agusman, meyakini kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan cukup baik dan kuat. Tekanan terhadap stabilitas yang terjadi sejak awal Februari dinilai lebih karena tren kenaikan suku bunga AS, dan meningkatnya ketidakpastian global akibat perubahan kebijakan AS dan sejumlah risiko geopolitik.
“Keputusan kenaikan suku bunga ini merupakan bagian dari langkah kebijakan jangka pendek Bank Indonesia yang memprioritaskan kebijakan moneter pada stabilitas khususnya untuk nilai tukar rupiah,” tulis Direktur Eksektif Departemen Komunikasi BI itu.
Ia menyebutkan, langkah-langkah jangka pendek lainnya yang diambil BI dalam menjaga nilai tukar rupiah adalah Pertama, respons kebijakan suku bunga akan tetap ditempuh secara pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, di samping tetap konsisten dengan upaya menjaga inflasi 2018-2019 agar terkendali sesuai sasaran 3,5±1%.
Kedua, intervensi ganda (dual intervention) di pasar valas dan di pasar surat berharga negara (SBN) terus dioptimalkan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, penyesuaian harga di pasar keuangan secara wajar, dan menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang.
Ketiga, strategi operasi moneter diarahkan untuk menjaga kecukupan likuiditas khususnya di pasar uang rupiah dan pasar swap antar bank.
Keempat, komunikasi yang intensif khususnya kepada pelaku pasar, perbankan, dunia usaha, dan para ekonom untuk membentuk ekspektasi yang rasional sehingga dapat memitigasi kecenderungan nilai tukar rupiah yang terlalu melemah (overshooting) dibandingkan dengan level fundamentalnya.
Agusman menegaskan, tekanan terhadap stabilitas khususnya nilai tukar Rupiah lebih karena perubahan kebijakan di AS yang berdampak ke seluruh negara, termasuk Indonesia.
Agusman tidak memungkiri, dengan semakin membaiknya perekonomian dan meningkatnya inflasi di AS akan mendorong peningkatan suku bunga the Fed, yang oleh sebagian pelaku pasar keuangan diperkirakan dapat lebih agresif menjadi 4 kali kenaikan dalam tahun ini.
“Kenaikan suku bunga yang lebih tinggi juga disebabkan oleh defisit fiskal pemerintah AS yang diperkirakan akan mencapai sekitar 4% dari PDB tahun ini dan 5% tahun 2019,” ungkap Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI itu.
Kedua perubahan kebijakan AS tersebut, jelas Agusman, telah memicu kenaikan yield US Treasury Bond dan penguatan mata uang dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Ketidakpastian global juga meningkat sehubungan dengan ketegangan hubungan dagang antara AS dan Tiongkok, serta beberapa ketegangan geopolitik regional.
“Berbagai faktor global tersebut telah memicu pembalikan modal asing (capital outflow) dan memberikan tekanan pada pasar keuangan di negara maju dan EMEs, termasuk Indonesia, baik penurunan harga saham, meningkatnya yield obligasi, maupun melemahnya nilai tukar terhadap dolar AS,” terang Agusman.
Ekonomi Indonesia, menurut Direkrur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman, menunjukkan ketahanan yang cukup kuat terhadap tekanan eksternal pada saat ini sebagaimana ditunjukkan pula pada periode-periode tekanan global sebelumnya.
“Kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan cukup baik sebagaimana asesmen pada RDG Bulanan tanggal 16-17 Mei 2018,” kata Agusman seraya menunjuk angka inflasi yang cukup rendah dan terkendali pada kisaran sasaran 3,5±1%.
Disamping itu, pertumbuhan ekonomi tetap baik didukung oleh meningkatnya investasi baik bangunan maupun nonbangunan. Defisit transaksi berjalan membaik dari triwulan sebelumnya dan untuk keseluruhan tahun 2018 diperkirakan akan di bawah 2,5% dari PDB. Stabilitas sistem keuangan juga terjaga dengan penyaluran kredit yang mulai membaik. (sak)