Peraturan Presiden (Perpres) Nomor Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 30 September 2019 juga mengatur penggunaan Bahasa Indonesia dalam kata dengan penggunaan nama geografi, nama badan hukum, hingga merk dagang.
Menurut Perpres ini, Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia, baik penamaan geografi baru dan/atau penggantian nama geografi lama.
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam penamaan geografi, menurut Perpres ini, dilakukan dengan memperhatikan:
a. norma kesusilaan dan kepatutan; b. karakteristik geografi; dan c. unsur sejarah atau tokoh.
Dalam hal geografi memenuhi nilai sejarah, budaya, adat-istiadat, dan/atau keagamaan, menurut Perpres ini, nama geografi dapat menggunakan Bahasa Daerah atau Bahasa Asing yang ditulis dengan menggunakan aksara latin.
“Bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama bangunan atau gedung, apartemen atau permukiman, perkantoran, dan kompleks perdagangan yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia,” bunyi Pasal 33 ayat (1) Perpres ini.
Dalam hal bangunan atau gedung, apartemen atau permukiman, perkantoran, dan kompleks perdagangan memiliki nilai sejarah, budaya, adat-istiadat, dan/atau keagamaan maka menurut Perpres ini, nama geografi dapat menggunakan Bahasa Daerah atau Bahasa Asing. Bahasa Indonesia, menurut Perpres ini, wajib digunakan pada nama jalan yang meliputi:
a. jalan nasional; b. jalan provinsi; c. jalan kabupaten; d. jalan kota; e. jalan desa; f. jalan tol; g. jalan bebas hambatan; dan h. jalan khusus.
“Dalam hal jalan memiliki nilai sejarah, budaya, adat-istiadat, dan/atau keagamaan, nama jalan dapat menggunakan Bahasa Daerah atau Bahasa Asing,” bunyi Pasal 34 ayat (3) Perpres ini.
Merek Dagang dan Lembaga Usaha Perpres ini juga menegaskan, Bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama merek dagang yang berupa kata atau gabungan kata yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Penggunaan Bahasa Indonesia pada nama merek dagang sebagaimana dimaksud dikecualikan untuk merek dagang yang merupakan lisensi asing.
“Dalam hal merek dagang sebagaimana dimaksud memiliki nilai sejarah, budaya, adat-istiadat, dan/atau keagamaan, nama merek dagang dapat menggunakan Bahasa Daerah atau Bahasa Asing,” bunyi Pasal 35 ayat (3) Perpres ini.
Selain itu, menurut Perpres ini, Bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama lembaga usaha yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Dalam hal badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud berbentuk perseroan terbatas, menurut Perpres ini, kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia hanya berlaku bagi perseroan terbatas yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
“Dalam hal lembaga usaha sebagaimana dimaksud memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan, nama lembaga usaha dapat menggunakan Bahasa Daerah atau Bahasa Asing,” bunyi Pasal 36 ayat (2) Perpres ini.
Perpres ini juga menyebutkan, Bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama lembaga pendidikan yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, yang meliputi:
a. satuan pendidikan formal; b. satuan pendidikan nonformal; dan c. satuan pendidikan informal.
Sementara Lembaga pendidikan yang didirikan atas dasar kerja sama antara lembaga pendidikan di Indonesia dan lembaga pendidikan asing, menurut Perpres ini, dapat menggunakan nama lembaga pendidikan asing.
Bahasa Indonesia, menurut Perpres ini, wajib digunakan pada nama organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Dalam hal organisasi sebagaimana dimaksud memiliki nilai sejarah, budaya, adat-istiadat, dan/atau keagamaan, menurut Perpres ini, nama organisasi dapat menggunakan Bahasa Daerah atau Bahasa Asing, yang ditulis dengan menggunakan aksara latin.
Perpres ini juga menegaskan, Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia.
Kewajiban pencantuman informasi tentang produk barang atau jasa sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh pelaku usaha yang memproduksi atau mengimpor barang untuk diperdagangkan.
“Informasi tentang produk barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. nama barang; b. spesifikasi; c. bahan dan komposisi; d. cara pemakaian; e. cara pemasangan; f. manfaat atau kegunaan; g. efek samping; h. ukuran; i. berat atau berat bersih; j. tanggal pembuatan; k. masa berlaku/kedaluwarsa; l. pengaruh produk; dan m. nama dan alamat pelaku usaha,” bunyi Pasal 39 ayat (3) Perpres ini.
Bahasa Indonesia, menurut Perpres ini, wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum. Informasi lain sebagaimana dimaksud dapat berupa tulisan atau gambar yang ditampilkan dan/atau suara yang diperdengarkan di tempat umum.
Tulisan, gambar, dan/atau suara sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, dapat disertai dengan Bahasa Daerah dan/atau Bahasa Asing sebagai padanan.
“Dalam hal diperlukan untuk kegiatan keagamaan, adat-istiadat, atau kesenian, Bahasa Daerah atau Bahasa Asing dapat digunakan untuk informasi pelayanan umum dengan menyertakan Bahasa Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan,” bunyi Pasal 40 ayat (4) Perpres ini.
Menurut Perpres ini, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini.
Pengawasan penggunaan Bahasa Indonesia oleh Pemerintah Pusat, menurut Perpres ini, dilaksanakan oleh Menteri. Sedangkan pengawasan penggunaan Bahasa Indonesia oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh gubernur dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
“Untuk pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud, Menteri (yang melaksanakan urusan pemerintah di bidang pendidikan) menetapkan pedoman pengawasan penggunaan Bahasa Indonesia,” bunyi Pasal 42 ayat (4) Perpres ini.
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 44 Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 30 September 2019. (sak)