Defisiensi atau kekurangan vitamin D menjadi persoalan yang mengancam anak Indonesia. Selain menghambat pertumbuhan dan memicu penyakit tulang, defisiensi vitamin D juga mendorong timbulnya penyakit lain, seperti penyakit kardiovaskular, dislipidemia, diabetes, dan hipertensi.
Ahli Gizi UGM, Dian Caturini Sulistyoningrum BSc MSc menyebutkan permasalahan defisiensi vitamin D kebanyakan muncul di negara 4 musim dengan paparan sinar matahari terbatas, seperti di kawasan Eropa, Amerika Utara, dan beberapa bagian di Australia. Namun, saat ini defisiensi vitamin D juga terjadi di negara-negara tropis.
“Defisiensi vitamin D saat ini telah menjadi persoalan di hampir seluruh negara dunia, tidak terkecuali negara yang mendapatkan banyak paparan sinar matahari termasuk Indonesia,” kata Dian saat ditemui di Departemen Gizi dan Kesehatan FKKMK UGM, Selasa (22/5).
Dian seperti dikutip Humas UGM, menyampaikan dari hasil riset yang dilakukannya di Kanada pada beragam etnis, yakni Kaukasia, Asia Timur, Asia Selatan, dan Aborigin diketahui orang yang berasal dari ras Asia Selatan memiliki vitamin D terendah dibandingkan dengan yang lainnya walaupun memiliki indeks massa tubuh yang sama (IMT).
Fakta ini menunjukkan orang Asia Selatan dengan paparan sinar matahari yang sama dengan orang Kaukasia di negara 4 musim rentan kekurangan vitamin D.
Fenomena rendahnya kandungan vitamin D pada orang Asia Selatan, kata dia, dikarenakan adanya timbunan lemak visceral yang tertimbun di sekitar organ-organ penting seperti jantung, hati dan ginjal.
Lemak tersebut menyerap lebih banyak vitamin D, menyebabkan kadarnya menjadi rendah dalam darah. Simpanan lemak tubuh berbanding lurus dengan kekurangan vitamin D. Seperti diketahui bahwa vitamin D merupakan salah satu vitamin yang larut lemak.
Dian mengungkapkan dari hasil riset yang dilakukannya pada anak usia 15-18 tahun di 10 sekolah Kota Yogyakarta menunjukkan hal serupa. Hampir 100% dari sampel penelitian mengalami defisiensi vitamin D.
“Dari 68 remaja laki-laki yang mengalami obesitas semuanya mengalami defisiensi vitamin D,” terangnya.
Kadar vitamin D dalam darah para remaja tersebut hanya berada di angka rata-rata 15 ng/dL. Sedangkan kadar vitamin D dalam darah sesuai standar seharusnya berada di kisaran 20 ng/dL.
Rendahnya kadar vitamin D dalam tubuh dapat meningkatkan faktor risiko seseorang terkena penyakit tidak menular, seperti kardiovaskuler, hipertensi, dislipidemia, intoleransi glukosa, dan diabetes, serta berhubungan dengan kejadian penyakit autoimmune.
Setelah diintervensi dengan pemberian suplemen sebanyak 800 IU per hari selama 6 minggu, diketahui mampu memperbaiki resistensi insulin. Dengan begitu, pemberian suplemen ini dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan kekurangan vitamin D.
Dian menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya vitamin D untuk mewujudkan masa depan anak-anak yang lebih baik.
Apabila anak mengalami kekurangan vitamin D maka akan menggangu pertumbuhan dan rentan terkena penyakit tidak menular sehingga memengaruhi kualitas hidup mereka di masa depan.
“Kebutuhan vitamin D 90%-nya dari sinar matahari, sementara yang lain bisa dipenuhi dengan konsumsi makanan, seperti ikan tuna, makerel (ikan tenggiri, kembung), salmon, telur, susu, dan lainnya,”jelasnya.
Selain menjaga pola hidup sehat dengan menjaga pola makan seimbang dan beraktivitas fisik, Dian mengimbau masyarakat untuk rajin mengkonsultasikan kesehatannya ke tenaga kesehatan, termasuk status vitamin D dalam tubuh. Dengan begitu, diharapkan status vitamin D dapat terpantau dengan baik. (sak)