Kelompok Perdikan Teater Yogyakarta siap menghibur pecinta seni pertunjukan di Surabaya. Pertunjukan yang digelar di Balai Budaya Komplek Balai Pemuda Surabaya, 7-8 Maret 2019 ini akan mengusung lakon “Sengkuni 2019”.
Pementasan ini menggunakan naskah Emha Ainun Najib yang sengaja ditulis untuk pementasan ini. Cak Nun juga akan hadir dalam acara ini dan memandu public review usai pementasan.
Pementasan ini berisi kritik terhadap penguasa, sekaligus mempertanyakan karakter Sengkuni dalam diri setiap manusia.
Dari narasi-narasi panjang yang dikisahkan tokoh Sengkuni sendiri, dia memakan ayah, ibu, dan 99 saudaranya untuk bertahan hidup dan mengabdi kepada kakaknya Gandari, yang dipersunting Destarata, ayah para Kurawa.
Namun dari pengakuannya, Sengkuni ternyata mengidolakan Pandu, ayah para Pandawa. Taktiknya mengadu-domba kedua keluarga itu tak lain adalah upaya balas dendam pada keturunan Destarata yang telah memusnahkan negeri Sengkuni, Gandara, yang disebut sebagai Afghanistan saat ini.
“Lakon ini memang berbeda dengan yang ada dalam pewayangan,” tutur Cak Nun yang dikutip dari Brangwetan.
Dalam kata pengantarnya, Cak Nun menyebutkan, bahwa lakon ini tidak mencari, menemukan, kemudian menuding Sengkuni dalam suatu konstelasi. Apalagi segera ada perhelatan nasional yang tak bisa dielakkan akan terjadi tahun 2019, yakni Pilpres.
Pecinta salah satu Capres akan menyebut Sengkuni di pihak lawannya, sementara pendukung lawannya menuding ada pesaingnya.
Kenapa ada 2019 pada judul lakon teater ini? “Karena bagi bangsa ini 2019 adalah gerbang zaman, adalah peluang terakhir untuk bercermin,” tulis Cak Nun.
Tokoh Sengkuni selama ini selalu dicitrakan negatif, sebagai penghasut, provokator dan penyebar hoax. Tetapi, dalam penafsiran Jujuk Prabowo selaku sutradara, dari sisi yang lain Sengkuni bisa bermakna positif. “Kresna itu juga bisa disebut Sengkuni dalam pengertian positif,” ujar dramawan yang masih tergabung di Teater Gandrik ini.
Bahkan, sifat-sifat Sengkuni sebetulnya ada dalam diri setiap orang. Tinggal masing-masing mengendalikan dirinya sendiri, sebagai Sengkuni yang negatif ataukah yang positif. Motivator dan penasehat itu juga dapat digolongkan Sengkuni yang baik.
Menurut Jujuk, durasi pementasan ini akan sedikit dikurangi, tidak seperti di Yogyakarta yang sampai 3 (tiga) jam. Tokoh utama sebagai Sengkuni adalah Djoko Kamto, pemain teater senior di Yogyakarta yang pernah bergabung di Teater Gandrik.
Perdikan Teater sendiri sebetulnya bukanlah sebuah grup yang mapan, baru saja berdiri, tanpa kepengurusan yang jelas, dan baru naskah Sengkuni ini yang digarap atas gagasan dari Cak Nun.
Sebelumnya, di Yogyakarta ada yang bernama Teater Perdikan yang didirikan oleh Suharyoso Sk dan Suharno. Namun baru saja mementaskan lakon pertama “Buah Simalakama” tidak pernah aktif lagi. “Entah mengapa nama yang sekarang kok mirip, hanya dibalik saja,” ujar Jujuk.
Meski pementasan ini masih cukup lama, ternyata hingga sore ini gedung Balai Budaya yang berkapasitas 700 kursi itu sudah dipesan 600 calon penonton. Untungnya pementasan diadakan selama 2 (dua) hari.
Padahal harga tiketnya terbilang mahal khususnya untuk tontonan di Surabaya. Harga paling murah Rp 150 ribu, kelas menengah Rp 250 ribu, dan baru kali ini ada tiket nonton teater dijual seharga Rp 1 (satu juta) rupiah.
“Yang satu juta itu untuk sponsor, biar mereka juga ikut nonton,” ujar Rakhmad, panitia pementasan ini dari Bangbang Wetan. (jnr)