Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menyebutkan Indonesia memiliki sekitar 3,6 juta barel minyak bumi dengan status dead stock yang hingga kini belum bisa diolah dan tidak termanfaatkan.
Dead stock crude oil ini terdapat pada tangki-tangki fasilitas produksi migas milik Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hal tersebut dikatakan Arcandra saat meninjau Onshore Processing Facility (OPF) PT Saka Energi Indonesia bersama Dirjen Migas Djoko Siswanto dan Wakil Kepala SKK Migas Sukandar di Gresik, Sabtu (8/9) lalu. “Tujuan utama kita ke sini untuk melihat dead stock,” ujarnya.
Dead stock atau dengan sebutan lainnya, unpumpable stock adalah volume produk crude oil (minyak mentah) hasil pengeboran yang mengendap di dalam tangki dan tidak dapat dipompakan untuk penyaluran, sehingga tidak dapat termanfaatkan.
Arcandra menginginkan agar volume stok crude oil yang selama ini mengendap (dead stock) dapat dimanfaatkan untuk dijual dan menambah penerimaan negara di sektor migas.
“Pemerintah menginginkan stok-stok yang selama ini tidak bisa dipompa, diam di tangki, itu bisa kita bersihkan dan bisa kita jual. Sehingga yang dinamakan dead stock yang selama ini diam, menjadi bermanfaat,” ujarnya.
“Angka dead stock kita sekarang sekitar 3,6 juta barel di seluruh Indonesia. Nah, ini mampu enggak kita kurangi pada level yang reasonable,” kata Arcandra.
Selama ini, untuk wilayah kerja migas dengan kontrak bagi hasil skema cost recovery, dead stock berpotensi dibebankan pada biaya yang harus dibayarkan oleh negara. Hal ini tentu tidak efisien dan berpotensi mengurangi PNBP migas dari kelebihan pembebanan cost recovery.
Arcandra optimis dari sisi teknologi, KKKS di Indonesia mampu untuk mengonversi dead stock ini menjadi produk yang bermanfaat dan bisa dijual.
“Karena isunya bukan masalah teknologi dan isu technical engineering. Hasil dari dead stock yang sudah diambil bisa dibawa ke kilang-kilang di dalam negeri untuk diolah kembali,” ungkapnya. “Teknologinya ada, dari beberapa opsi nanti kita evaluasi mana yang secara teknologi feasible (layak) dan secara keekonomian masuk,” pungkas Arcandra. (ist)