Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS) baru-baru ini menyatakan niatnya untuk mengajukan gugatan uji materi kepada pemerintah atas aturan yang melarang penjualan rokok eceran.
Gugatan tersebut menargetkan Pasal 434 dan Pasal 194 dari Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2024, yang dianggap merugikan pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) di sektor tembakau.
Menanggapi isu ini, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (UNAIR) Drs Gitadi Tegas Supramudyo MSi memberikan pandangannya berdasarkan perspektif analisis kebijakan. Ia menekankan perlu ada kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) dalam merumuskan aturan semacam ini.
Drs Gitadi juga menjelaskan bahwa konsumen utama rokok eceran adalah masyarakat berpenghasilan rendah yang kesulitan membeli rokok dalam jumlah besar. Oleh karena itu, penjualan rokok eceran banyak terjadi di warung-warung kecil, toko-toko, dan warung kopi yang ada di sekitar masyarakat.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR itu juga menjelaskan bahwa meskipun dampak langsung dari larangan penjualan rokok eceran terlihat kecil untuk UMKM, namun dampak tidak langsung atau multiplier effect-nya akan cukup besar.
“Orang yang membeli rokok eceran biasanya juga membeli produk lain, seperti gorengan atau nasi bungkus. Ini yang perlu dipertimbangkan dalam analisis dampak kebijakan ini,” ucapnya.
Mengenai gugatan KERIS, Gitadi melihat bahwa gugatan ini relevan dan dapat dianggap sebagai upaya untuk membela kepentingan rakyat kecil yang menggantungkan hidupnya pada penjualan rokok eceran. Namun, Gitadi juga mengingatkan bahwa kebijakan ini harus tetap sejalan dengan tujuan jangka panjang untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
“Jika dilihat dari perspektif peningkatan kesehatan, larangan ini mungkin sejalan dengan upaya untuk menekan konsumsi rokok di Indonesia. Tapi sekali lagi, masalah utama kita adalah di implementasinya. Kebijakannya mungkin bagus, tapi implementasinya yang sering kali sulit dan tidak terukur,” tegasnya.
Ia juga menyebut bahwa kebijakan larangan penjualan rokok eceran ini mungkin tidak akan efektif untuk mengurangi jumlah perokok aktif. “Selama harga rokok masih terjangkau dan pabrik-pabrik besar tetap memproduksi dalam jumlah besar, larangan ini mungkin hanya akan menggeser pola konsumsi, bukan mengurangi secara signifikan,” tambahnya.
Gitadi menyarankan agar pemerintah mencari solusi yang seimbang (win-win solution) antara kepentingan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan ekonomi pelaku usaha kecil di sektor tembakau. Ia menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih intensif dan efektif sehingga tidak hanya mengandalkan pelarangan-pelarangan, tetapi juga edukasi yang menyentuh kesadaran masyarakat sejak dini. (ita)