Antisipasi Bahaya Urban Heat Island
KOMUNITAS PERISTIWA

Antisipasi Bahaya Urban Heat Island

Kepadatan bangunan yang terus meningkat di area pusat perkotaan selaras dengan meningkatnya suhu pada wilayah tersebut. Fenomena yang dikenal sebagai Urban Heat Island (UHI) tersebut mendorong Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI membahas mengenai peran generasi muda untuk mengetahui UHI dan menyadari bahayanya melalui kegiatan workshop yang digelar di Gedung Research Center ITS, Rabu (26/06).

Kegiatan yang digelar dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024 tersebut dihadiri oleh Rektor ITS Ir Bambang Pramujati ST MSc Eng PhD, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Prof Ir Dwikorita Karnawati MSc PhD, serta Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Ir Sigit Reliantoro MSc. Gelaran ini juga menggandeng Institut Hijau Indonesia.

Dalam sambutannya, Rektor ITS tersebut menuturkan bahwa Urban Heat Island merupakan fenomena alam berupa tingginya suhu daerah perkotaan yang saat ini tengah dialami oleh kota-kota besar di seluruh dunia. “Fenomena tersebut tahun ke tahun semakin parah yang ditandai dengan suhu yang semakin meningkat,” ungkap dosen Departemen Teknik Mesin ITS tersebut.

Lelaki kelahiran Jogjakarta tersebut menjelaskan bahwa fenomena UHI atau pulau bahang perkotaan diakibatkan oleh industri yang semakin berkembang dari tahun ke tahun. Akan tetapi, perkembangan tersebut tidak dapat dihindari karena perkembangan bidang industri juga dibutuhkan oleh masyarakat. “Kita harus berusaha agar kerusakan lingkungan akibat industri dapat diminimalisasi,” harapnya.

Menimpali pernyataan Bambang, Kepala BMKG memaparkan bahwa seluruh kota di Indonesia menunjukkan tren peningkatan suhu yang signifikan antara 0,2 sampai 1 derajat celsius per 30 tahun. Selain itu, Indonesia juga mengalami peningkatan tren konsentrasi karbon tiap tahunnya. “Hingga sekarang konsentrasi karbon di udara mencapai 415 ppm,” ulasnya.

Dwikorita menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mengakibatkan UHI, termasuk struktur geometris kota yang rumit, sedikitnya vegetasi, hingga efek rumah kaca. Selain itu, perubahan tutupan lahan yang menjadi lahan terbangun juga memperparah terjadinya UHI. “Kapasitas termal yang tinggi dari material bangunan pun mengakibatkan panas yang diserap semakin besar,” beber mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Melanjutkan penjelasan Bambang dan Dwikorita, Sigit mengemukakan bahwa solusi untuk mengatasi UHI adalah dengan gerakan climate optimism. Dalam gerakan ini, masyarakat harus dapat terhubung satu sama lain, terus memperbarui informasi terkait UHI, fokus mencari solusi, dan terus berupaya mengedukasi yang lain. “Pola pikir tersebut dapat menjadi langkah awal penyelesaian UHI,” tuturnya mengingatkan.

Sebelum dimulai workshop, pada kegiatan ini pun dilakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara ITS dengan BMKG untuk meningkatkan kerja sama bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kerja sama ini harapannya dapat memenuhi kebutuhan BMKG untuk mencetak 500 doktor baru di lingkungan internalnya agar bisa lebih meningkatkan kualitas dan kinerjanya. (ita)