PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah mengubah strategi ketenagalistrikannya dan menyesuaikannya dengan komitmen Indonesia untuk emisi nol karbon sebelum 2060.
Dunia kini didorong untuk terus mengurangi emisi karbonnya. Bahkan, negara dunia sudah sepakat menuju nol emisi karbon bisa dicapai sebelum tahun 2060.
Tentu tuntutan itu tidak ringan. Namun, komitmen itu sudah disepakati bersama. Demikian pula dengan Indonesia. Presiden Joko Widodo ketika berbicara di KTT COP 28 Dubai pun sudah menyuarakan tekadnya dan akan bekerja keras untuk mencapainya sebelum 2060.
Sebagai bentuk implementasi dari komitmen itu, di sektor ketenagalistrikan, Indonesia melalui PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), pun telah mengubah strategi ketenagalistrikannya dan menyesuaikannya dengan komitmen Indonesia soal emisi nol karbon sebelum 2060.
Seperti disampaikan Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, pihaknya bersama pemerintah berencana merilis Rencana Usaha Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) baru, dalam waktu dekat. Dalam RUKN tersebut, porsi penggunaan pembangkit energi baru terbarukan semakin besar, yakni menjadi sebesar 60 Gigawatt (GW).
“Di sana (RUKN baru) akan diatur terkait pembangunan pembangkit EBT skala besar dan green transmission line yang menghubungkan antarpulau di tanah air,” ujar Darmawan dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (26/03).
Darmawan mengatakan, RUKN terbaru menetapkan bahwa ekosistem EBT Indonesia akan ditopang oleh pembangkit berbasis hidro dan geothermal sebesar 32 Gigawatt (GW). Selain itu, terdapat juga pembangkit berbasis surya dan angin sebesar 28 GW.
Oleh sebab itu, dia mengatakan, pengembangan green transmission line atau jalur transmisi hijau akan berperan krusial untuk menyalurkan listrik hijau antarpulau. Karena ada ketidaksinambungan antara lokasi sumber pembangkit EBT yang ada di luar Jawa, dengan pusat konsumsi listrik terbesar di Jawa.
“Untuk itu, kita perlu menghubungkan Sumatra ke Jawa, Kalimantan ke Jawa, Nusa Tenggara Timur ke Jawa, Kalimantan ke Sulawesi, yang di dalamnya akan ada proyek besar perancangan dan pengembangan green transmission line,” kata Darmawan.
Menurut laporan Kementerian ESDM, batubara dan minyak bumi masih mendominasi bauran energi Indonesia. Pada 2023, bauran batubara dalam energi primer nasional mencapai 40,46%, dan minyak bumi 30,18%.
Sementara itu, bauran gas bumi 16,28%, dan energi baru terbarukan (EBT) paling kecil, yakni 13,09%. Kementerian ESDM mencatat, bauran EBT sebenarnya ditargetkan naik menjadi 17,9% pada 2023. Hanya saja, target ini belum berhasil tercapai.
Dalam rangka terus mengembangkan EBT, PLN juga mendorong kerja sama dengan perusahaan asing sehingga kemampuan perusahaan plat merah itu semakin mumpuni. Salah satunya, Darmawan juga mengungkapkan Perjanjian Studi Pengembangan Bersama atau Joint Development Studi Agreement (JDSA) antara Sub Holding PLN Indonesia Power dengan China Energy Engineering Group Co., Ltd (CEEC) di Jakarta, (21/03).
Kerja sama itu terkait pengembangan proyek energi hijau secara komprehensif di Sulawesi. Darmawan Prasodjo mengatakan, penandatanganan kerja sama ini menjadi momen penting dalam pengembagan energi hijau.
Board Chairman of CEEC Group Song Hailiang mengatakan, pihaknya siap mendukung Pemerintah Indonesia dalam mencapai net zero emission di 2060 atau lebih cepat. Dalam hal ini, CEEC optimistis karena telah memiliki sejarah panjang kerja sama pengembangan EBT dengan PLN.
“Indonesia merupakan mitra penting Tiongkok dalam bersama-sama membangun dan berkontribusi terhadap target NZE 2060 di Indonesia,” tutup Song. (indonesia.go.id)