Bahan bakar pendukung transportasi ramah lingkungan, terus bertumbuh bak jamur di musim hujan. Selain bioetanol, biodiesel, dan biogas (bahan bakar jenis biofuel), kini hadir bahan bakar hidrogen. Di tanah air, adalah PT PLN (Persero) menjadi pelopor keberadaan stasiun pengisian hidrogen (SPH) atau hydrogen refueling station (HRS).
“Kita lihat bahwa perkembangan teknologi transportasi hijau berkembang sangat besar. Salah satunya adalah bagaimana transportasi berbasis pada electric vehicle (EV) berkembang sangat besar dan PLN mendukung transformasi green transportation yang berbasis pada EV end-to-end,” kata Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo memberi sambutan saat peresmian SPH pertama di Indonesia sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan, yang berlokasi di Senayan, Jakarta, Rabu (21/02).
Selain PLN, PT Pertamina juga melakukan hal serupa. SPH Pertamina memasok hidrogen dari gas dan panas bumi dari fasilitas milik Pertamina. Langkah itu ditandai dengan groundbreaking Pertamina hydrogen refueling station, di SPBU Daan Mogot, Jakarta Barat, Rabu (17/01). SPH itu ditargetkan awal Februari 2024 mulai beroperasi.
Pengembangan bahan bakar hidrogen, baik yang dilakukan Pertamina maupun PLN, merupakan bagian dari program transisi energi yang berbasis fosil ke energi hijau. Untuk itu, ekosistem transportasi ramah lingkungan pun disiapkan.
Sejauh ini PLN mengeklaim sangat mendukung green transportation transformation baik itu EV maupun fuel cells. Hal itu ditandai dengan fasilitas produksi hidrogen di Muara Tawar, Muara Karang, dan juga Tanjung Priok. PLN juga memproduksi (hidrogen) di 21 pembangkit dengan produksinya 199 ton per tahun, termasuk listrik yang berbasis pada rooftop dan juga renewable energy certificate.
Adapun ke-21 GHP milik PLN itu, masing-masing ada di PLTU Pangkalan Susu, PLTGU Muara Karang, PLTU Suralaya 1-7, PLTU Suralaya 8, PLTGU Cilegon, PLTU Labuhan, PLTU Lontar, PLTGU Tanjung Priok, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTGU Muara Tawar, PLTU Indramayu, PLTGU Tambak Lorok, PLTU Tanjung Jati B, PLTU Rembang, PLTU Tanjung Awar-awar, PLTGU Gresik, PLTG Pemaron, PLTU Paiton, PLTU Grati, PLTU Pacitan, dan PLTU Adipala.
Selanjutnya PLN juga mengembangkan hidrogen hijau dari true renewable energy production dengan membangun hydrogen production di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang. Dari sini, ada tambahan sekitar 4,3 ton per tahun. Jadi, totalnya ada 203 ton green hydrogen dari 22 pembangkit milik PLN.
Dari total produksi tersebut, PLN hanya menggunakan 75 ton untuk kebutuhan operasional pembangkit, sedangkan sisanya 128 ton hidrogen hijau bisa digunakan untuk sektor transportasi.
Selain dari pembangkit listrik (milik PLN), sumber bahan bakar hidrogen bisa dari gas dan panas bumi. “Hidrogen ini bisa dari berbagai sumber kami, bisa dari sumber gas, jadi itu ada grey dan blue dan juga ada green itu dari geothermal-nya Pertamina dan fasilitas PLTS Pertamina. Jadi, sumber hidrogen ini bisa dari gas dan juga dari geothermal, dari PLTS,” jelas Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati.
Dalam pemetaan Pertamina, terdapat 17 titik sumber-sumber hidrogen yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. “Kami sudah petakan dari seluruh Indonesia yang hari ini siap ada 17 source atau suplai untuk hidrogen ini untuk seluruh Indonesia. Jadi, nanti ini lah yang akan mensuplai ke SPBU-SPBU,” kata Nicke sebagaimana dikutip media Antara. Namun Nicke tidak merinci secara detil ke-17 titik dimaksud.
Nicke juga mengungkapkan bahwa untuk pengisian daya dengan bahan bakar hidrogen tersebut hanya memerlukan waktu tiga menit dan bisa dipakai untuk menempuh jarak 780–800 kilometer (km). “Untuk sekali charge itu untuk 780-800 kilometer sekali charge untuk 3 menit. Jadi, lebih efisien, lebih cepat, jadi kalau cuma dari rumah ke kantor itu sebulan tidak isi-isi,” ujar Nicke.
Menyitir pandangan sejumlah ahli, masa depan bahan bakar hidrogen diprediksi akan terus membaik. Apalagi, saat ini, sejumlah produsen kendaraan listrik pun mulai berfikir ulang untuk terus menggunakan daya yang berbasis nikel. Kendaraan listrik Tesla, Tiongkok, misalnya mulai berpaling dari sumber daya berbasis nikel. Artinya apa?
Peluang untuk energi hijau masih terbuka lebar. Meski, di sana ada sejumlah kendala, seperti investasi dan juga entry barrier-nya yang tinggi. Namun, ruang tersebut layak diperjuangkan. Sejumlah perusahaan multinasional pun mulai masuk di lahan baru ini.
Sekadar menyebut contoh adalah perusahaan minyak dan gas Malaysia, Petronas, yang bekerja sama dengan Negara Bagian Sarawak, di mana semua bus di negara bagian tersebut menggunakan bahan bakar hidrogen.
Oleh karena itu, langkah Pertamina dan PLN dalam pengembangan hidrogen hijau, layak diapresiasi. Terlebih, potensi hidrogen hijau Indonesia, tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan internal, melainkan juga bisa menjadi pemasok kebutuhan hidrogen hijau di dunia.
Hidrogen, khususnya hidogen hijau (green hydrogen), merujuk situs https://theconversation.com/bahan-bakar-hidrogen-dari-air-bagaimana-keunggulan-dan-kelemahannya, diproduksi melalui proses elektrolisis air menggunakan energi terbarukan.
Gas hidrogen dianggap layak menjadi kandidat bahan bakar kendaraan karena hanya menghasilkan emisi berupa air. Hal itu berbeda dengan pembakaran energi fosil yang mengeluarkan emisi gas beracun ataupun gas rumah kaca.
Hidrogen memiliki kerapatan energi (energy density) sekitar 33,33 kilowatt jam per kilogram, lebih tinggi dari baterai listrik. Hidrogen sendiri sejatinya bukan sebagai sumber energi, melainkan sebagai pembawa energi. Ini karena energi yang dimiliki dapat dimanfaatkan dengan mudah.
Hidrogen dapat dijadikan fuelcell untuk memproduksi listrik. Oleh karenanya, ini merupakan teknologi yang menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik dan panas untuk berbagai tujuan. Termasuk untuk kendaraan bermotor, di mana kendaraan dengan bahan bakar hydrogen hanya membutuhkan waktu 3–5 menit untuk proses isi ulang hingga penuh. Ini jauh lebih cepat dari isi ulang daya baterai pada kendaraan listrik yang perlu waktu 20 menit–1 jam untuk DC fast charging atau 4–10 jam untuk home charging.
Sejauh ini, ada pandangan penggunaan hidrogen untuk kendaraan dinilai kurang efisien. Pasalnya, efisiensi produksi hidrogen dari elektrolisis air saat ini sekitar 75% dan konversi hidrogen ke listrik dalam sel tunam (sel bahan bakar atau fuel cell) sebesar 60%. Angka ini lebih rendah dibandingkan efisiensi energi baterai litium (acap digunakan kendaraan listrik) yang dapat mencapai 80%. Benarkah?
Hidrogen adalah sumber energi yang bersih dan tidak menghasilkan emisi saat digunakan, sehingga menjadi pilihan yang baik untuk mengurangi polusi udara. Menurut Dirut PLN Darmawan, menggunakan 1 liter BBM, emisi yang dikeluarkan sebesar 2,4 kg jadi untuk 1 km sekitar 240 gram. Kalau ini emisinya sudah nol karena menggunakan green hydrogen.
Dengan kemampuan produksi hidrogen sebesar 128 ton per tahun, PLN bisa menyediakan energi untuk 438 mobil dengan pengurangan bbm 1,59 juta liter per tahun. Hal ini bisa mengurangi emisi 4,5 juta kg per tahun. (indonesia.go.id)