Industri di Indonesia tidak terlepas dari sektor manufaktur yang melibatkan proses peningkatan nilai atau value, baik dalam atribut maupun bentuk, dari bahan mentah (raw material) menjadi produk yang bernilai lebih tinggi. Beberapa tahun terakhir, tepatnya satu dekade, investasi pada sektor industri manufaktur terus mengalami peningkatan yang signifikan. Investasi tersebut mencapai Rp 565 triliun.
Menyikapi tren yang terjadi tersebut, Rizky Astari Rahmania ST MSc selaku Dosen Teknik Industri, Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM), Universitas Airlangga (UNAIR), memberikan pandangannya. Menurut dosen yang akrab disapa Kiki tersebut, sektor manufaktur merupakan industri terbesar di Indonesia. Sehingga manufaktur merupakan inti dari aktivitas ekonomi yang membentuk fondasi keberhasilan Indonesia.
Pesatnya perkembangan industri manufaktur di Indonesia, acap kali menjadi daya tarik bagi para investor global untuk mengalokasikan modal mereka. Hal itu tidak lain karena biaya produksi di Indonesia tergolong sangat kompetitif dan ekonomis, dalam kata lain cenderung lebih murah.
“Kenapa investor global berinvestasi di Indonesia? Ya, tentu karena cheap labor (biaya tenaga kerja yang murah, Red). Mereka melakukan produksi di Indonesia dengan tenaga kerja yang rendah. Kemudian, investor global tersebut membawa produk yang dihasilkan dan kembali menjualnya ke Indonesia dengan harga yang jauh lebih tinggi,” terang Kiki.
Selain itu, dosen teknik industri tersebut mengungkapkan bahwa dibandingkan dengan negara-negara lain, regulasi di Indonesia jauh lebih longgar. Hal tersebut memberikan kemudahan bagi para investor global untuk melakukan kegiatan produksi di Indonesia, tanpa terkendala oleh beragam birokrasi yang menyulitkan. Sehingga, itu mempercepat proses investasi sesuai dengan harapan investor global tersebut.
Kalau tidak segera berbenah, negara-negara asing akan berkuasa dalam ekonomi dan industri manufaktur dalam negeri. Hal tersebut akan berdampak pada Indonesia pada masa depan Indonesia.
“Kekurangan dalam industri manufaktur Indonesia adalah regulasinya yang masih mengendap. Selain investor global memproduksi dengan biaya murah di sini, juga masih terdapat pekerja di bawah umur yang mendapatkan upah tidak layak dengan kompensasi yang minim,” ucap Kiki dengan tegas.
Investor global sering mencari lokasi produksi di negara-negara dengan biaya tenaga kerja murah untuk meningkatkan keuntungan mereka. Tak jarang hal tersebut berimbas pada hak-hak pekerja dan standar kerja yang terabaikan demi efisiensi dan profitabilitas perusahaan.
“Mostly, yang melakukan produksi di sini adalah perusahaan-perusahaan luar negeri dan yang bekerja sama dengan pemerintah, sehingga menghambat akses warga Indonesia untuk memproduksi sendiri. Sederhananya, seperti produksi mobil, mereka senantiasa menghalangi kita, alhasil menyebabkan kemunduran produk lokal. Saya berharap, pemerintah Indonesia dapat lebih kuat melindungi industri manufaktur dalam negeri dan meningkatkan regulasinya,” tutup Kiki. (ita)