Ekonomi RI Masih Tahan Banting
EKONOMI BISNIS PERISTIWA

Ekonomi RI Masih Tahan Banting

Perekonomian dunia di penghujung tahun ini dan 2023 diprediksi akan menghadapi ketidakpastian. Ada yang sampai menyebutnya ekonomi dunia akan gelap, bahkan pekat.

Pelbagai kalangan juga berpendapat ekonomi dunia akan menghadapi ancaman reflasi, kombinasi dari kondisi resesi dan inflasi tinggi yang bersamaan. Bahkan, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dalam perkiraan terbarunya juga telah memberikan prediksinya bahwa terjadi pelambatan pada ekonomi Indonesia di tahun depan.

Pertumbuhan tahun depan diperkirakan 4,7 persen dari tahun ini yang diramalkan tumbuh kuat hingga 5,3 persen. Beberapa risiko yang dihadapi Indonesia, versi OECD, antara lain pertumbuhan konsumsi akan tertahan oleh kenaikan inflasi.

Selain itu, gejolak sosial dan politik menjelang Pilpres 2024 bisa mendistorsi persepsi investor internasional terhadap kekuatan perekonomian Indonesia. Sementara itu, berkaitan dengan perekonomian dunia, OECD juga memperkirakan, ekonomi dunia dapat terhindar dari resesi ekonomi pada tahun depan.

Hanya saja, krisis energi terburuk sejak 1970-an akan memicu perlambatan tajam. Eropa akan menjadi kawasan yang paling terpukul. OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat dari 3,1 persen pada tahun ini menjadi 2,2 persen pada tahun depan, tetapi meningkat lagi pada 2024 menjadi 2,7 persen.

Dalam konteks global, reflasi sudah menghantam Inggris dan Rusia akibat perang yang mengakibatkan krisis pangan dan energi. “Namun kami tidak memprediksi resesi. Kami memproyeksikan periode pelemahan yang nyata,” kata Kepala OECD Mathias Cormann, dalam konferensi pers untuk mempresentasikan outlook ekonomi terbaru organisasi tersebut, seperti dikutip dari Reuters pada Selasa (22/11).

Berkaitan reflasi, kondisi ekonomi itu diperkirakan juga menghampiri Indonesia yang memberikan dampak lanjutan berupa terjadinya pelambatan pertumbuhan ekonomi, pelemahan nilai tukar rupiah, pengangguran, dan sebagainya.

Adanya ketakutan itu wajar saja. Indonesia mesti mewaspadai kombinasi inflasi tinggi dengan resesi ekonomi. Pertanyaan selanjutnya, apakah ancaman reflasi juga akan terjadi terhadap Indonesia?

Menteri Keuangan pun buka suara terkait adanya ancaman reflasi yang saat ini tengah menghantui perekonomian dunia. Sri Mulyani pun memberikan jaminan bahwa perekonomian Indonesia diyakini masih kuat, meskipun tetap waspada menghadapi gejolak. Pasalnya, perekonomian dunia hingga 2023 masih akan menghadapi ketidakpastian.

Apa yang menjadi alasan keyakinan itu? Bendaharawan negara itu pun membeberkan sejumlah indikator yang menjadi fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat.

Pertama, pertumbuhan ekonomi diyakini dapat mencapai target APBN 2023 sebesar 5,3 persen meski downside risk atau risiko penurunan ekonomi meningkat. “Kalau untuk proyeksinya kami tetap menggunakan yang ada di dalam UU APBN yang asumsinya di 5,3 persen. Namun memang kata-kata waspada itu menggambarkan donwside risk-nya muncul sangat kuat,” ujar Sri Mulyani, di kantornya, Rabu (23/11/2022).

Apalagi, dia menambahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal III-2022 yang mencapai 5,72 persen (year on year/yoy) masih dinilai cukup kuat, terutama didorong adanya faktor permintaan masyarakat, investasi, kinerja ekspor yang membaik, dan belanja pemerintah. “Ini memberi implikasi bahwa momentum ini masih berjalan,” jelas Sri Mulyani.

Kedua, dari sisi ketersediaan atau supply side, industri manufaktur juga meningkat. Itu tecermin dari Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia pada level 51,8 poin.

Meskipun turun dari bulan sebelumnya, masih berada di level 50 dengan 14 bulan berturut-turut. Ekspansi perdagangan jasa, pertambangan, dan harga komoditas baik itu sektor pertanian dan jasa juga masih cukup baik.

Indikator-indikator tersebut, menurut Sri Mulyani menggambarkan momentum pemulihan ekonomi Indonesia yang kuat, bahkan diperkirakan masih akan berlanjut hingga kuartal IV-2022.

“Namun, kami di Kemenkeu selama ini selalu sampaikan waspada karena memang lingkungan ekonomi global sangat-sangat turbulence,” ujar Sri Mulyani mengingatkan.

Kewaspadaan yang dimaksud bisa datang dari berbagai hal. Misalnya saja tingkat inflasi dunia, kebijakan suku bunga bank sentral di negara maju, menguatnya dolar AS, dan sebagainya.

Semua hal-hal tersebut, kata Sri Mulyani akan diperhitungkan sebagai langkah pemerintah dalam mengambil kebijakan, terutama dalam mengelola APBN. “Jadi untuk 2023 kewaspadaan ini menggambarkan risiko yang berasal dari global akan cukup mempengaruhi kinerja kita,” ujarnya.

Kendati demikian, Sri Mulyani optimistis, reflasi belum akan datang di Indonesia. Sebab pertumbuhan ekonomi masih akan tumbuh. Hingga akhir 2022, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,3 persen (yoy).

“Jadi kalau pertumbuhan ekonomi sampai akhir tahun dan bagaimana dampak serta perkembangan dari perang. Ini yang memengaruhi faktor-faktor yang membebani kita tahun depan,” ujarnya.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengabarkan, adanya ancaman reflasi yang terjadi pada tingkat global saat ini.

“Ada risiko stagflasi, pertumbuhannya stuck turun, namun inflasinya tinggi. Bahkan istilahnya adalah reflasi, risiko resesi dan tinggi inflasi,” tutur Perry, pada saat menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (21/11).

Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, perekonomian Indonesia pada 2023 diproyeksi tetap tumbuh kuat meski berpotensi mengalami perlambatan akibat gejolak global. Dia menambahkan ekonomi nasional pada tahun depan diproyeksi tumbuh pada kisaran 4,5 hingga 5 persen.

“Ini relatif kuat. kalau dibandingkan proyeksi pertumbuhan tahun ini 5,0–5,1 persen, memang ada perlambatan, tapi tidak terlalu jauh apalagi dibandingkan dengan potensi perlambatan global yang signifikan,” katanya dalam acara CORE Economic Outlook 2023, Rabu (23/11/2022).

Faisal mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan mencapai 4,5 hingga 5 persen pada tahun depan, juga masih lebih baik dibandingkan dengan sejumlah negara berkembang lainnya. Dia pun memaparkan beberapa indikator penopangnya.

Yang utama, pertumbuhan ekonomi pada 2023 masih dari konsumsi rumah tangga, yang diperkirakan tumbuh melampaui tingkat konsumsi sebelum pandemi Covid-19, meski masih terdapat potensi perlambatan akibat tekanan global.

Tingkat inflasi, menurutnya akan meningkat pada kisaran 2 hingga 3 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2022 yang diperkirakan mencapai 5–6 persen.

Laju inflasi tersebut, kata Faisal, masih menekan daya beli masyarakat berpendapatan rendah. Hanya saja, tidak akan banyak mempengaruhi konsumsi secara agregat.

Kinerja investasi pun diproyeksi akan tumbuh menguat pada tahun depan dan akan kembali menjadi penyumbang kedua terbesar pada pertumbuhan ekonomi. “Pada 2023, kita prediksikan sudah kembali ke kondisi prapandemi, di mana investasi kembali ke nomor dua dan pertumbuhan investasi di Indonesia diperkirakan tidak akan banyak terganggu tekanan ekonomi global,” kata Faisal. (indonesia.go.id)