Limbah Medis di Pundak Siti Nurbaya
KESEHATAN PERISTIWA

Limbah Medis di Pundak Siti Nurbaya

Presiden Jokowi memerintahkan Menteri LHK Siti Nurbaya menangani limbah medis Covid-19 yang terus bertambah. Incinerator baru akan disiapkan. Namun, daur ulang juga bisa jadi pilihan.

Lonjakan kasus Covid-19 menimbulkan masalah ikutan. Limbah medis bertumpuk. Secara nasional, limbah medis yang perlu ditangani volumenya mencapai 18.460 ton. Tak heran isu itu menjadi agenda khusus rapat kabinet terbatas (ratas) yang dipimpin Presiden Joko Widodo, Rabu (28 Juli 2021). Ikut hadir dalam ratas itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dan Kepala BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) Laksana Tri Handoko.

“Limbah medis itu berasal dari fasilitas layanan kesehatan (fasyankes), rumah sakit darurat, rumah sakit lapangan, klinik, laboratorium, tempat karantina terpusat, karantina mandiri, serta beberapa tempat lainnya,” ujar Menteri LHK Siti Nurbaya dalam konferensi pers virtual seusai ratas.

Limbah tersebut, katanya, berupa selang infus, masker, vial vaksin, jarum suntik, faceshield, sarung tangan, hazmat, APD, tabung spesimen PCR, tabung bekas test kit, dan masih banyak lainnya.

Sejumlah fasilitas pengolahan sebetulnya telah tersedia. Instalasi incinerator, yang dapat membakar limbah dengan suhu tinggi sehingga tidak menimbulkan limbah baru, ada 20 unit, tapi keberadaan mereka hanya di Jawa dan Bali. Fasilitas yang ada, termasuk incinerator itu mampu mengolah 493 ton limbah medis, jauh di atas jumlah limbah harian yang dalam situasi normal rata-rata hanya 383 ton per hari.

Namun, karena lebih banyak limbah yang muncul dibanding jumlah yang dapat dihancurkan setiap harinya, maka tumpukan limbah itu semakin tinggi saja. Belum lagi, limbah dari rumah-rumah yang dijadikan tempat isolasi mandiri (isoman) yang belum terjangkau oleh layanan penanganan limbah medis.

Ke depan, sebagai Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar akan menyediakan plastik khusus yang bisa digunakan sebagai drop box, tempat mengumpulkan limbah medis, sebelum diurus oleh dinas kebersihan.

Walhasil, limbah medis itu numpuk di mana-mana. Kementerian LHK menggolongkannya sebagai limbah infecious, yang berpotensi menimbulkan paparan infeksi, karenanya dia tergolong bahan beracun berbahaya (B-3). Bahan B-3 ini tak boleh dicampurkan begitu saja di tempat-tempat pembuangan sampah (TPA) reguler.

Tumpukan limbah medis itu kini terbanyak ada di DKI Jakarta, yang per 27 Juli 2021 ini ada sekitar 10.940 ton, meningkat hampir 3.500 ton sejak 1 Maret 2021. Pada kurun yang sama, di Jawa Barat tumpukan sampah medis itu membengkak menjadi 836 ton (dari 74 ton), di Jawa Tengah naik dari 123 ton menjadi 502 ton, Jawa Timur bertambah dari 509 ton ke 629 ton, dan Banten dari 228 ton melonjak ke 592 ton.

Perlu ada percepatan menangani sampah medis itu agar potensi bahayanya bisa cepat dijinakkan. Menurut Menteri LHK Siti Nurbaya, Presiden Joko Widodo memerintahkan agar dana penanganan limbah Rp1,3 triliun yang ada di pos APBD (daerah) bisa dimobilisasikan untuk maksud tersebut. Siti Nurbaya mengatakan, dana tersebut dapat digunakan untuk percepatan pemusnahan limbah medis B3 itu, antara lain, dengan menambah instalasi incinerator.

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr. Laksana Tri Handoko menyatakan siap mendukung aksi penanganan limbah medis tersebut. Salah satu cara yang ia tawarkan adalah membangun incinerator mini yang mobile, namun efektif dan aman. “Karena limbah itu ada di berbagai tempat, incinerator mobile itu bisa menjadi pilihan,” katanya. BRIN, katanya, bisa menyiapkan unit truk mini dengan incinerator di atas dek belakang dalam waktu sebulan.

Syarat utama incinerator, menurut Kepala BRIN, adalah dapat melakukan pembakaran pada suhu 800 derajat Celsius dengan proses plasmaisasi di dalamnya, sehingga semua material bisa terurai kembali menjadi unsur-unsur dasar untuk kemudian dioksidasi agar menghasilkan limbah yang aman bagi manusia. “’Tak ada limbah dioksin yang berbahaya,”’ kata Kepala BRIN Tri Handoko.

Skala incinerator yang bisa dibangun sangat fleksibel, tergantung kebutuhan, seperti bisa dipasang pada truk mini, truk besar, atau dalam volume besar dan ditempatkan di lokasi khusus. Namun, di luar pendekatan tersebut, Kepala BRIN ini juga membuka opsi adanya proses recycling (daur ulang) untuk sejumlah bahan yang punya nilai ekonomi. BRIN siap memberikan paket teknologi yang aman, murah, dan efektif.

Setelah dicuci dengan disinfektan yang efektif, plastik dari limbah medis itu bisa diolah agar kembali menjadi bahan polypropylene (PP) yang bisa digunakan untuk berbagai produk. Jarum suntuk dapat didaur ulang menjadi stainless murni. “Kita bisa lakukan dengan cara yang aman,” katanya.

Namun, menurut Menteri Siti Nurbaya, yang mendesak ialah penanganan limbah dari orang-orang yang menjalani isolasi mandiri. Pihaknya akan menyiapkan plastik drop box yang mudah diperoleh, untuk dijadikan tempat pembuangan limbah isoman, juga masker bekas yang kini banyak digunakan masyarakat.

“Setiap masker itu beratnya sekiitar 4 gram, kalau yang memakainya setiap hari separuh penduduk saja, 135 juta dan secara berkala diganti, itu sudah jadi jumlah yang besar,” katanya.

Ia pun berniat menyediakan drop-box untuk masker, dan bersama benda-benda lain yang lawan terinfeksi, limbah itu bisa dikumpulkan dengan limbah medis lainnya untuk kemudian dimusnahkan serentak. Apa pun pilihannya, tumpukan limbah medis itu kini ada di pundak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. (indonesia.go.id)