Salak Meener Asli Condet
JALAN-JALAN PERISTIWA SENI BUDAYA

Salak Meener Asli Condet

Condet tidak hanya dikenal sebagai sentra parfum isi ulang dan kuliner khas Timur Tengah. Kawasan yang namanya diambil dari anak Sungai Ciliwung, yaitu Ci Ondet, memiliki sejarah yang panjang.

Terletak di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, kawasan ini seperti ditulis pemerhati budaya Jakarta, mendiang Alwi Shahab dalam bukunya Betawi: Queen of the East, dulunya merupakan lahan swasta atau tanah partikelir.

Lahan sejuk di pinggiran Batavia dengan pepohonan rimbun seluas 816 morgen atau sekitar 52.530 hektare itu merupakan hasil penjualan kolonial Belanda di Batavia kepada Frederik Willem Freijer pada 8 Juni 1753.

Kawasan Condet kemudian menjadi bagian dari wilayah yang disebut sebagai Groeneveld atau Lapangan Hijau. Ini adalah daerah peristirahatan yang disukai para pejabat Belanda karena letaknya tak jauh dari pusat kota.

Sejumlah rumah peristirahatan atau villa dibangun di sekitar Condet. Dikenal juga sebagai Tanjung Oost atau Tanjung Timur, Groeneveld membentang dari Depok hingga Srengseng dan Condet serta menjadi bagian besar dari Meester Cornelis, kota satelit penyangga Batavia seperti disebutkan dalam Laporan Tahunan Hindia Belanda (Regeeringsalmanak) tahun 1927. Meester Cornelis saat ini dikenal sebagai Jatinegara.

Suburnya lahan Condet karena berada di tepi aliran Sungai Ciliwung membuat Willem Vincent Helvetius van Riemsdjik jatuh hati. Dikenal sebagai Daniel Cornelius Helvetius, ia adalah tuan tanah sekaligus putra Gubernur Jenderal Jeremies van Riemsdjik yang membeli Condet dari Jacobus Johannes Craan pada 1770.

Mengutip tulisan Iim Imaduddin, peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung pada Jurnal Patanjala edisi Maret 2015, disebutkan bahwa Craan adalah pemilik ketiga Condet setelah membelinya dari Adrian Jubels pada 1763 di mana Jubels menguasainya dari Freijer.

Oleh Helvetius, Condet dikembangkan menjadi sebuah kawasan pertanian dan peternakan terkemuka. Selain menghasilkan beras, dari kawasan ini juga tumbuh tanaman buah berkualitas, seperti salak, duku, durian, gandaria, nangka, mangga.

Pemberian pupuk organik dari kotoran sapi, kerbau, dan kambing menjadikan kualitas serta rasa buah-buahan asal Condet terkenal di kalangan elite Belanda.

Dalam perkembangannya pascakemerdekaan, Condet terus tumbuh menjadi kawasan penghasil buah terutama salak dan duku yang dikelola oleh masyarakat Betawi, suku asli Jakarta.

Bahkan hasil bumi dari Condet ini bersama produk buah nusantara lainnya acap mengisi piring-piring hidangan di Istana Negara untuk disuguhkan kepada para tamu di era Presiden Pertama RI, Sukarno.

Pada 1974, saat Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin, kawasan yang terdiri dari Kelurahan Balekambang, Batu Ampar, dan Kampung Tengah itu ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. D.IV-1V-115/e/3/1974 tentang Penetapan Kampung yang Diperkembangkan sebagai Daerah Tempat Tinggal Baru di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Tidak hanya sampai di situ saja karena Bang Ali, sapaannya, juga menerbitkan keputusan mengenai Condet sebagai cagar buah-buahan.

Ia menetapkannya lewat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No: D.I.-7903/a/30/75 tentang Penegasan Penetapan Kelurahan Condet Batu Ampar, Kelurahan Condet Balekambang, Kelurahan Kampung Tengah, Kecamatan Kramatjati, Wilayah Jakarta Timur sebagai Daerah Buah-Buahan.

Saat penetapan itu diterbitkan, kawasan Condet masih dihuni oleh masyarakat Betawi dengan jumlah 90 persen dari populasi yang ada. Selain itu Condet juga dijadikan sebagai pusat konservasi salak (Sallaca zallaca) dan duku (Lansium domesticum) yang menjadi buah endemik di tempat ini.

Pada masa jayanya di era 1970-an, produksi salak condet rata-rata per tahun menyentuh angka 285,7 ton dari dua kali masa panen, utamanya di bulan Desember. Panen sebesar itu didapat dari 1.656.600 rumpun pohon salak yang tumbuh di atas lahan seluas total 300 ha.

Buah warna cokelat dengan kulit bersisik serta sedikit duri tipis tersebut saat itu banyak tumbuh di wilayah Kelurahan Balekambang.

Hasil panen salak biasanya langsung dijual penduduk ke sentra buah Pasar Minggu yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari Condet melewati aliran Sungai Ciliwung memanfaatkan eretan, perahu penyeberangan terbuat dari susunan bambu.

Belakangan, untuk mempermudah pergerakan masyarakat Condet, pemerintah daerah pun membangun jembatan di Balekambang yang terhubung dengan Pasar Minggu.

Upaya Pelestarian

Dibukanya Jalan Raya Condet sebagai jalur alternatif penyeimbang Jalan Raya Bogor jelang akhir 1970-an, mulai menimbulkan arus urbanisasi di wilayah cagar budaya Jakarta itu.

Bak permainan sulap, lahan-lahan perkebunan yang luas, empang-empang berisi ikan dan kandang-kandang ternak milik warga perlahan berubah bentuk. Mulai bermunculan permukiman warga pendatang.

Udara sejuk dan letaknya yang tak jauh dari pusat kota menjadi alasan utama para pendatang untuk mengisi petak-petak hijau Condet dan menggantinya menjadi tempat tinggal.

Kondisi tadi membuat keberadaan suku Betawi sebagai orang asli Condet perlahan ikut tersisihkan hingga pada 2004 statusnya sebagai cagar budaya dicabut.

Status sebagi cagar budaya suku Betawi kemudian disematkan kepada kawasan Setu Babakan. Ini karena di kawasan yang masuk dalam Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan itu masih terdapat banyak orang Betawi yang masih mempertahankan tradisi budayanya.

Nasib serupa juga menghantam salak condet. Buah khas Condet yang dikenal memiliki rasa asam dan manis dalam satu rumpun buah dengan daging buah yang tebal itu mulai langka.

Padahal, salak dari Condet ini mempunyai sembilan varietas dengan rupa dan bentuk yang tidak sama satu dengan yang lain. Pada 2007, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun membeli sebidang lahan di Balekambang sebagai habitat salak asli Condet untuk dijadikan kawasan konservasi.

Seperti dikutip dari Antara, lahan seluas 3,7 ha dibeli seharga nilai jual objek pajak (NJOP) dari sejumlah warga Betawi yang sebagian masih menanam buah berjuluk sisik ular itu. Sebagai penanda batas antara kebun salak dan permukiman warga dibangunlah pagar besi di sekelilingnya.

Cagar Buah Condet, demikian nama lokasi konservasi yang berada di bantaran Sungai Ciliwung di Jl Kayu Manis RT 7 RW 5. Sempat terbengkalai hampir tujuh tahun, pada 2013 Pemprov DKI Jakarta melalui Suku Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan Jakarta Timur menugaskan beberapa pekerja harian lepas (PHL) untuk merawat Cagar Buah Condet.

Mereka dibantu sejumlah warga setempat yang semula menjadi pemilik lahan. Ada 8 orang yang tercatat merawat tanaman salak dan duku di lahan konservasi ini.

Salah satunya adalah Asnawi, asli Betawi dan mantan pemilik salah satu bidang lahan Cagar Buah Condet. Ia rela lahannya yang masih terdapat pohon berakar serabut ini beserta duku usia puluhan tahun warisan engkong, bahasa setempat untuk kakek, dibeli pemerintah untuk dibuat konservasi.

“Antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, saya lebih mengutamakan kepentingan umum yang dampaknya kalau masih ada pohon akan terjadi penyerapan dan kedua untuk berbagi oksigen,” kata Asnawi.

Setidaknya sudah ada 3.000 pohon salak ditanam di Cagar Buah Condet. Bibit-bibit dari tanaman berbentuk palem dengan banyak duri di antara batangnya itu baru mulai berbuah setelah 4-5 tahun ditanam.

Proses persemaian hingga menjadi buah salak memerlukan waktu lima bulan. Dari 3.000 pohon, hanya 200 pohon saja yang aktif berbuah, di antaranya bahkan sudah berusia di atas 1 abad.

Ketika panen, jangan membayangkan hasilnya akan serupa di era 1970-an yang mencapai ratusan ton, karena yang didapat saat ini jumlahnya pun tak sampai 200 kilogram saja.

Panen langsung diambil pihak Pemprov DKI dan sebagian diberikan kepada warga sekitar, kendati tak sedikit yang kemudian menjualnya lagi di tepi Jalan Raya Condet.

Musibah banjir bandang yang menerjang sebagian lahan Cagar Buah Condet pada 2018, ikut merendam mayoritas habitat salak. Akibatnya banyak pohon yang membusuk dan tidak lagi produktif meski beberapa rumpunnya masih dapat diselamatkan. Sesuai fungsinya sebagai kawasan konservasi, Cagar Buah Condet pun ikut melestarikan salak asli masyarakat Betawi.

Setiap tahunnya ribuan bibit hasil cangkok dari pohon induk atau hasil tanam dari bijinya berhasil dikembangkan pengelola dan warga. Untuk satu polybag bibit salak condet, dilepas mulai dari harga Rp40.000-Rp65.000 bergantung ukuran besaran pohon.

Semoga saja upaya ini mampu mempertahankan keberadaan salak yang pernah menjadi favorit para pembesar sejak era kolonial hingga pascakemerdekaan dan tidak lagi sekadar kisah dongeng sebelum tidur. (indonesia.go.id)