Di tengah kondisi tatanan baru, masyarakat Indonesia kini tidak lagi bisa bergantung atau mengandalkan layanan kesehatan di luar negeri. Sebelum merebaknya Covid-19, banyak masyarakat Indonesia yang melakukan pengobatan hingga keluar negeri, baik Singapura dan juga Malaysia. Diperkirakan Rp75 triliun–Rp100 triliun nilai belanja kesehatan masyarakat Indonesia parkir di dua negara itu.
Selain itu, industri farmasi dan alat kesehatan juga akan menjadi andalan pemerintah di era tatanan kenormalan baru nanti. Mengingat kesadaran orang di dunia saat ini kesehatan akan menjadi konsumsi atau kebutuhan luar biasa.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan, ada 220 perusahaan di industri farmasi di Indonesia dan 90 persen di antaranya berfokus pada sektor hilir (downstream) dalam produksi obat-obatan. Sementara itu, pemerintah terus mengupayakan pengurangan impor sebesar 35 persen hingga akhir 2022. Pemerintah berharap upaya tersebut dapat mengatasi ketergantungan pada impor bahan baku.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan, hingga 2021, ada 241 industri pembuatan obat-obatan, 17 industri bahan baku obat-obatan, 132 industri obat-obatan tradisional, dan 18 industri ekstraksi produk alami. Pertumbuhan fasilitas produksi peralatan medis juga terus meningkat. Dari 2015 hingga 2021, jumlah perusahaan yang memproduksi perangkat medis meningkat dari 193 menjadi 891 perusahaan.
Lebih jauh, dalam lima tahun terakhir, industri perangkat medis dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 361,66 persen atau kira-kira sejumlah 698 perusahaan. Indonesia mengekspor produk farmasi dan perangkat medis ke beberapa negara, yaitu Belanda, Inggris, Polandia, Nigeria, Kamboja, Vietnam, Filipina, Myanmar, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Pemerintah telah menyiapkan peta jalan untuk mempercepat pembangunan industri farmasi, termasuk prosedur serta sasaran pengembangan produk dan jangka waktunya. Sasaran peta jalan ini adalah produksi bahan baku berteknologi tinggi. Fokus jangka panjangnya adalah membantu industri farmasi dan perangkat medis menjadi industri mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan penduduk sembari menurunkan ketergantungan pada produk impor.
Dalam sebuah siaran resmi di laman Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kepala BKPM Indonesia Bahlil Lahadalia dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah sepakat untuk mempercepat pemberian izin bagi penyedia peralatan medis guna membantu negara menanggulangi pandemi Covid-19.
Pemberian izin usaha untuk peralatan medis di Indonesia dapat dipercepat hingga menjadi 1×24 jam (satu hari) hanya dengan mengakses sistem online single submission (OSS) dan Pusat Komando Investasi dan Pengawalan Investasi BKPM.
Penyedia akan menerima nomor induk berusaha (NIB), Izin Usaha Industri, dan Izin Komersial atau Operasional. Nantinya, sistem Kementerian Kesehatan akan memproses permintaan mereka atas sertifikat produksi dan izin distribusi.
Beberapa produk yang termasuk dalam layanan percepatan ialah masker bedah, alat pelindung diri (APD), dan penyanitasi tangan (hand sanitizer). BKPM memperkirakan bahwa penyedia peralatan medis akan memanfaatkan peluang ini untuk membantu mencegah penyebaran Covid-19.
Pemerintah akan memberikan insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang hendak berinvestasi di Indonesia. Pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday), pengurangan pajak penghasilan untuk penanaman modal (tax allowance), insentif pengurangan pajak super (super tax deduction), dan bea impor merupakan beberapa insentif yang tersedia.
Cocok bagi Investor
Pertumbuhan perekonomian yang kuat serta demografi yang signifikan membuat Indonesia menjadi negara yang cocok bagi investor. Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, sebagai bagian dari reformasi regulasi struktural, juga meningkatkan iklim investasi serta kemudahan berbisnis di Indonesia.
Apalagi pandemi Covid-19 yang belum ada kepastian akan berakhir. Di mana itu memicu masyarakat semakin bergantung pada obat-obatan, perangkat medis, dan tenaga kesehatan. Perlombaan untuk mengembangkan vaksin Covid-19 telah mendorong banyak negara berinvestasi lebih besar pada program penelitian kesehatan dan pengadaan vitamin, suplemen, dan obat peningkat kekebalan tubuh.
Di Indonesia, farmasi merupakan sektor yang menjanjikan. Akibat meningkatnya permintaan, pemerintah telah memasukkan sektor perangkat medis dan farmasi sebagai bagian dari sektor prioritas dalam upaya merealisasikan program Making Indonesia 4.0. Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan daya saing sektor perangkat medis dan farmasi dengan mendorong terselenggaranya transformasi digital berbasis teknologi.
Sebagai contoh, perusahaan induk farmasi milik negara telah memanfaatkan teknologi digital mulai dari proses produksi hingga distribusinya. Perusahaan tersebut menggunakan sistem yang saling terhubung untuk menumbuhkan jaringan; menyelenggarakan proses administratif digital; dan mendorong terwujudnya kinerja yang lebih efektif dan efisien.
Indonesia yang dihuni lebih dari 260 juta orang merupakan salah satu pasar farmasi dengan pertumbuhan tercepat di Asia. Dalam survei yang dilakukan oleh Global Data, yang ditulis dalam laman resmi lembaga konsultan Cekindo.com, pasar farmasi Indonesia menempati peringkat pasar terbesar di kawasan ASEAN, dengan nilai pasar diperkirakan mencapai Rp141,6 miliar (USD 10,11 miliar) pada 2021.
Pertumbuhan industri farmasi diperkirakan mencapai 12–13 persen per tahun. Pasar farmasi bernilai 84 triliun rupiah (USD6 miliar) dan diklaim mencapai 10,11 miliar dolar pada 2021. Obat-obatan over-the-counter (OTC) berjumlah Rp48,8 triliun (USD3.483 juta) pada 2018. Diperkirakan akan tumbuh sebesar 1,3 persen per tahun (CAGR 2018-2021).
Untuk obat-obatan OTC, pendapatan per orang sebesar IDR183.250 (USD13.08) dihasilkan, terkait dengan jumlah populasi. Asosiasi Apoteker Indonesia melaporkan sekitar 95 persen bahan baku obat diimpor. Kepemilikan asing atas perusahaan farmasi telah meningkat dari 75 menjadi 100 persen. Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 30.000 tumbuhan obat dari 40.000 tumbuhan obat yang dikenal secara global.
Belanja farmasi per kapita di Indonesia meningkat pesat. Secara historis, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi obat terendah di Asia. Namun untuk saat ini, hanya untuk obat-obatan OTC, pendapatan per orang telah meningkat secara signifikan menjadi Rp183.250 (USD 13,08), terkait dengan jumlah penduduk. Karena pendapatan per kapita yang diperkirakan akan meningkat selama dekade berikutnya, orang Indonesia akan membelanjakan lebih banyak untuk perawatan kesehatan.
Lonjakan penyakit kronis dan meningkatnya daya beli kelas menengah juga merupakan faktor penting yang berkontribusi pada permintaan obat-obatan yang lebih besar. Pada 2022, total pengeluaran perawatan kesehatan Indonesia akan membengkak menjadi IDR277,4 triliun (USD47,1 miliar).
Perluasan rangkaian produk dan peningkatan permintaan obat generik menjadi faktor utama pendorong pertumbuhan pasar farmasi Indonesia. Hampir 75 persen kebutuhan obat di Indonesia dipenuhi oleh perusahaan dalam negeri. Perusahaan asing menguasai 25% sisanya.
Kalbe Pharma–produsen obat dalam negeri terbesar di Indonesia–menguasai 15 persen pangsa pasar. Bersama-sama, Bayer, Pfizer, dan GlaxoSmithKline mengambil 8 persen dari ukuran pasar. Namun dari segi bahan baku, menurut Ikatan Apoteker Indonesia, sekitar 95% bahan obat dan obat di Indonesia masih diimpor. (indonesia.go.id)