Komitmen Indonesia terhadap pengembangan energi terbarukan tak perlu diragukan. Termasuk, di sektor kelistrikan. Di peta jalan pengembangan energi terbarukan, Indonesia memiliki target sebesar 23 persen di bauran energi nasional pada 2025.
Kebijakan yang dipadukan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 29 persen pada 2030 merupakan upaya jelas menuju sistem energi yang lebih berkelanjutan.
Tentu saja, komitmen menuju sistem energi yang berkelanjutan itu didukung potensi sumber daya yang tersedia cukup besar dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia meliputi sumber energi surya, sumber energi air dan mikrohidro, sumber energi angin, sumber energi panas bumi, sumber energi gelombang laut, dan sumber energi biomassa.
Dalam rangka mengakselerasinya, pemerintah pun berencana memberikan insentif dan dukungan fiskal. Bentuk dukungan itu dalam waktu dekat akan keluar berupa peraturan presiden (perpres). Saat ini, regulasi tersebut masih dalam tahap pembahasan di Kementerian Keuangan.
“Rancangan perpres masih dilakukan pembahasan di Kementerian Keuangan untuk memastikan insentif dan dukungan fiskalnya, termasuk kaitannya dengan kondisi PT PLN (Persero),” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana di Jakarta, Rabu (21/04).
Menurut Dadan, salah satu mekanisme yang ada dalam beleid itu yang mendukung pengembangan energi terbarukan, berupa kompensasi harga listrik.
Dalam rancangan perpres disebutkan adanya kompensasi jika harga listrik proyek pembangkit energi terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, maka akan ada kompensasi yang diberikan ke PLN.
Hal ini mengingat perpres baru itu menawarkan mekanisme harga listrik energi terbarukan yang lebih menarik dari yang saat ini berlaku. Mengacu rancangan perpres yang beredar, salah satunya yakni mekanisme feed in tariff untuk pembangkit listrik energi terbarukan dengan kapasitas di bawah lima megawatt (MW).
Dengan mekanisme harga ini maka tidak ada lagi negosiasi harga dengan PLN sebagai pembeli. Mekanisme harga lainnya yakni penawaran terendah, patokan tertinggi, atau kesepakatan.
Harga listrik energi terbarukan dalam perpres ini juga mempertimbangkan faktor lokasi pembangkit listrik yang menjadi faktor pengkali (F). Besaran faktor lokasi ini semakin besar untuk daerah Indonesia bagian timur dan pulau-pulau kecil. Faktor lain yang juga diperhitungkan adalah kapasitas pembangkit.
Harga listrik energi terbarukan juga ditetapkan lebih tinggi di masa awal pembangkit listrik beroperasi, yakni di kisaran 12-15 tahun pertama. Selanjutnya, harga listrik dipatok lebih rendah hingga kontrak berakhir di tahun ke-30.
Menurut Dadan, rancangan perpres ini dalam tahap finalisasi penyelesaian. Walaupun, dia tidak dapat memastikan kapan beleid ini bakal terbit. “Secepatnya,” ujarnya.
Dalam konteks akselerasi energi terbarukan, bagaimana sebenarnya minat investor terhadap sektor itu? Data Badan koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkapkan investasi di sektor itu sebenarnya sudah cukup menjanjikan.
Menurut Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan, investasi sektor energi terbarukan sempat melonjak tinggi pada 2018.
Tren Investasi
Namun, adanya perubahan mekanisme harga listrik energi terbarukan kemudian menekan investasi di sektor energi bersih ini. “Tetapi kini tren investasinya sudah kembali naik,” ungkap Nurul dalam Indonesia-South Korea Renewable Energy Investment Forum, belum lama ini.
Mengacu data BKPM, investasi sektor energi terbarukan sempat mencapai USD2,04 miliar pada 2018. Namun, pada 2019, investasi sektor ini merosot menjadi USD933,9 juta. Pada tahun lalu, investasi energi hijau ini kembali membaik di kisaran USD2 miliar.
Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana berharap investasi di sektor energi terbarukan akan meningkat di tahun ini.
Hal ini sejalan dengan membaiknya perekonomian. Meski dampak pandemi Covid-19 masih terasa, Dadan optimistis, rencana investasi yang tertunda di tahun sebelumnya dapat mulai dilaksanakan di tahun ini.
Apalagi pemerintah segera mengeluarkan perpres harga listrik energi terbarukan dalam waktu dekat, yang berpotensi mendongkrak investasi menjadi lebih baik lagi. “Kalau dengan [diterbitkannya] perpres akan lebih naik lagi,” tutur Dadan.
Pada tahun ini, investasi di sektor energi terbarukan ditargetkan mencapai USD2,05 miliar. Di tahun ini, investasi proyek panas bumi tetap tinggi, namun investasi proyek pembangkit surya dan bayu juga diproyeksikan akan melejit.
Rincinya, investasi sektor panas bumi USD730 juta, aneka energi baru terbarukan USD1,25 miliar, bioenergi USD68 juta, dan konservasi energi USD10 juta.
Pemerintah memang mau tidak mau harus terus mendorong investasi di sektor energi terbarukan tersebut seiring target penambahan kapasitas pembangkit hijau ini yang ditetapkan 905,73 MW tahun ini, yakni pembangkit panas bumi 196 MW, air 557,93 MW, surya 138,8 MW, dan bioenergi 13 MW. Tambahan ini yang terbesar sejak 2016.
Tambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan tercatat hanya sebesar 490 MW di 2016, 393 MW di 2017, 409 MW di 2018, 503 MW di 2019, dan 176 MW di tahun lalu.
Menurut Dadan, sampai 2020, Indonesia telah berhasil menaikkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional hingga dua kali lipat, yakni dari kurang dari 5 persen pada 2015 menjadi 11,2 persen pada tahun lalu. “Kemudian kami menargetkan untuk mendobelkan lagi dalam beberapa tahun ke depan menjadi 28 persen di 2030,” kata dia.
Berkaca dari persoalan di atas, tak dipungkiri untuk mengembangkan energi terbarukan secara masif, semua pemangku kepentingan harus lebih keras lagi mendorongnya. Antara lain, dengan memberikan dukungan melalui promosi tarif yang adil dan efektif, merampingkan proses perizinan, termasuk memberikan insentif sehingga sektor itu bisa lebih akseleratif lagi pengembangannya. (indonesia.go.id)