Indonesia merupakan negeri dengan kekayaan alam yang melimpah. Tak hanya menjadi rumah bagi 39,5 juta hektare (ha) hutan tropis, tetapi juga memiliki potensi bentang alam karst yang tak kalah luas.
Bayangkan, negara ini memiliki sekitar 154.000 kilometer persegi bentang karst, atau sekitar 0,08 persen dari luas daratan Indonesia. Kawasan karst atau batu gamping merupakan sumber daya alam tidak terbarukan yang jika rusak tidak dapat dipulihkan lagi.
Kawasan karst merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting bagi beberapa jenis flora maupun fauna. Berbagai macam jenis flora dan fauna endemik hanya dapat ditemukan di dalam kawasan karst.
Selain sebagai habitat flora fauna, karst juga memiliki peranan sebagai penyimpan dan pengatur tata air. Sekitar 15 persen kawasan karst dunia mencukupi 25 persen kebutuhan air bersih penduduk dunia. Pada 1997, lembaga konservasi dunia, International Union for Conservation of Nature (IUCN), mengukuhkan karst sebagai kawasan yang lingkungannya harus dilestarikan.
Indonesia sendiri memiliki beberapa kawasan karst yang memukau. Sulawesi Selatan (Sulsel) merupakan rumah bagi beberapa kawasan karst. Salah satu yang terkenal adalah kawasan karst yang melangkahi dua kabupaten, yakni Maros dan Pangkajene-Kepulauan atau Pangkep. Lokasinya ada di utara Makassar, atau sekitar 100 kilometer dari ibu kota Sulsel.
Karst Maros-Pangkep ini membentang di atas kawasan seluas 43.750 ha. Dari total konservasi itu, sebanyak 23.750 ha di antaranya masuk ke dalam areal Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN Babul).
Luasnya bentangan menjadikan kawasan karst ini sebagai yang terluas dan terindah ketiga di dunia. Kawasan karst Tiongkok Selatan yang membentang seluas 97.125 ha melewati tiga provinsi di Guangxi, Yunnan, dan Chongqing adalah yang terluas di dunia.
Proses geologi yang berlangsung sejak ratusan juta tahun lampau telah menghasilkan lansekap indah pada kawasan karst Maros-Pangkep. Lansekap ini berupa menara karst berdiri sendiri atau berkelompok sehingga sekilas membentuk hutan bebatuan.
Terdapat juga lubang-lubang yang membentuk gua. Masyarakat setempat menyebut gua sebagai leang. Sebuah penelitian yang dilakukan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2016 menemukan, ada 257 gua yang terdiri dari 216 gua alam dan 41 gua prasejarah.
Gua alam membentuk dua tipe, yakni gua vertikal dan gua horizontal. Leang Pute adalah gua vertikal terdalam, mencapai kedalaman 263 meter di bawah permukaan laut. Sedangkan Salukkang Kallang dengan panjang mencapai 1,2 kilometer menjadi leang horizontal terpanjang.
Terdapat pula gua prasejarah seperti Leang Pettae, Leang Petta Kere, Leang Lompoa, Leang Kassi, dan masih banyak lagi. Umumnya gua-gua prasejarah ini memiliki lukisan-lukisan alam berbentuk cap tangan manusia purba atau gambar fauna-fauna endemik kawasan karst Maros-Pangkep. Fauna yang biasa dijadikan ilustrasi gambar pada dinding gua adalah anoa (Bubalus sp.), babi sulawesi (Sus celebensis), atau rusa (Rusa timorensis).
Salah satu gua yang menyedot perhatian adalah Leang Tedongnge yang terletak di kawasan karst Maros. Lokasinya sangat terpencil dan hanya dapat dijangkau saat musim kemarau. Itu lantaran di musim hujan gua sepanjang tak lebih dari 200 meter ini akan terendam air selama berbulan-bulan.
Leang Tedongnge memiliki pintu masuk lumayan lebar, sekitar lima meter dan tinggi langit-langit gua hampir 10 meter dengan permukaan dipenuhi lumpur licin. Leang ini sangat jarang disinggahi manusia, termasuk masyarakat Bugis yang menghuni sebagian kawasan karst ini.
Untuk mencapai gua ini, harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki selama 2 jam dari permukiman terdekat. Di dalam gua terdapat fenomena lukisan purba berupa gambar babi kutil sulawesi (Sus celebensis) berukuran panjang 136 sentimeter (cm) dan lebar 54 cm di dinding gua.
Lukisan purba ini pertama kali ditemukan oleh arkeolog Universitas Hasanuddin, Basran Burhan, pada 2017. Lukisan purba babi kutil digambarkan memiliki rambut pendek tegak, kaki-kaki kecil dan pendek, serta sepasang kutil wajah seperti tanduk yang menjadi ciri khas jantan dewasa spesies babi kutil.
Lukisan purba itu dikelir dengan cat berbahan oker atau sejenis pigmen tanah liat merah tua. Terdapat dua cetakan tangan di atas bagian belakang babi. Ada dua babi lain yang gambarnya hanya terawetkan sebagian, menghadap ke babi pertama yang sedang mengamati perkelahian atau interaksi sosial antara kedua babi kutil lainnya.
Lukisan ini dianggap sebagai jejak permukiman karena manusia berburu babi selama puluhan ribu tahun. “Lukisan ini juga menjelaskan mengenai migrasi manusia purba. Karya seni ini menjadi jejak prasejarah di kawasan ini, khususnya selama zaman es,” kata Basran seperti dilansir dari laman resmi Griffith University, beberapa waktu lalu.
Eksplorasi resmi terhadap temuan lukisan purba babi kutil Sulawesi itu baru dilakukan setahun setelahnya atau pada 2018 oleh tim arkeologi gabungan Griffith University Australia bersama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas).
Tim ini dipimpin oleh Adam Brumm, guru besar arkeologi dari Pusat Riset Arkeologi Evolusi Manusia Griffith University. Basran Burhan yang merupakan kandidat doktor arkeologi Griffith University termasuk di dalam tim tersebut. Ikut bergabung Maxime Aubert, guru besar arkeologi dengan spesialisasi pada penanggalan, dari kampus yang sama.
Lukisan Gua Tertua
Untuk mengetahui kapan lukisan purba itu dibuat, Aubert mengidentifikasi deposit kalsit memakai teknik isotop Uranium. Dari hasil pengujian itu diketahui bahwa lukisan babi purba itu telah berumur 45.500 tahun.
Aubert bahkan menduga, umur lukisan itu bisa lebih tua lagi, antara 52 ribu tahun sampai 60 ribu tahun. Hasil pengidentifikasian ini juga meruntuhkan dugaan lukisan purba tertua sebelumnya yang terdapat di Leang Bulu Sipong 4, Maros yang telah berumur 43.900 tahun.
Lukisan ini ditemukan oleh tim yang sama dengan yang menemukan ilustrasi berupa babi setengah manusia sedang berburu mangsa. Lukisan lain di dalam Leang Bulu Sipong 4 adalah sepasang anoa berusia 41 ribu tahun dan 40.900 tahun. Bahkan itu mengalahkan temuan sebelumnya, di Gua Purba Lubang Jeruji Saleh, kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat.
Pada penemuan di bulan November 2018 di hutan belantara Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, oleh tim arkeologi yang sama tersebut, ditemukan lukisan purba berusia sekitar 40 ribu tahun. Penemuan lukisan purba oleh tim gabungan di bentang karst Maros-Pangkep pun makin beragam. Umumnya berusia 17–39 ribu tahun serta dibuat dengan bahan yang sama, yaitu oker dengan motif fauna atau cap tangan.
Di Leang Bulu Bettue, tim menemukan lukisan purba berumur 40 ribu tahun. Di Leang Barugayya 2, misalnya, ditemukan lukisan dengan umur lebih muda, sekitar 35.700 tahun. Hal sama juga terdapat pada Leang Timpuseng yang terdapat lukisan purba berumur 35.400 tahun dan Leang Balangajia 1, yang diduga telah berusia 32 ribu tahun.
Hasil pengidentifikasian umur itu menyingkap hal baru, yakni karya seni di Leang Tedongnge merupakan lukisan purba gua yang tertua di dunia. Bahkan lebih tua dari lukisan purba yang ditemukan di kawasan gua karst Lascaux dan Chauvet, Prancis serta Altamira, Spanyol. Lukisan gua purba bergambar aneka fauna seperti singa, kuda, rusa, hyena, bison, dan badak itu diketahui berumur 44 ribu tahun. Lukisan Leang Tedongnge juga mengalahkan usia lukisan di Gua Gabarnmung, Australia Utara, yang berumur 44 ribu tahun.
Tim arkeologi gabungan menyatakan, berdasarkan hasil penelitian bisa disimpulkan bahwa lukisan dinding gua itu dibuat oleh manusia purba Homo sapiens dan bukan Denisovan, manusia purba yang telah punah. Homo sapiens disimpulkan telah memiliki kecerdasan lebih baik jika dilihat dari teknik mereka melukis di atas dinding gua termasuk memakai oker sebagai pewarna lukisan. (indonesia.go.id)