Baru-baru ini, guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Drs Ec Ir Riyanarto Sarno MSc PhD telah berhasil mengembangkan inovasi alat pendeteksi Covid-19 melalui bau keringat ketiak (axillary sweat odor).
Alat yang bernama i-nose c-19 ini juga berhasil mendapat dukungan untuk pengembangan sampai lolos uji edar saat dipresentasikan di hadapan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Prof Bambang Brodjonegoro di Ruang Rapat Inovasi Lt24 Gedung BJ Habibie Jakarta, pekan lalu.
Saat menghadap Menristek/Kepala BRIN ini, profesor yang akrab disapa Ryan tersebut juga didampingi oleh Wakil Rektor IV ITS Bambang Pramujati ST MScEng PhD, Ketua Majelis Wali Amanat ITS Prof Dr Ir Muhammad Nuh DEA, dan sejumlah tim pengembang dari ITS yang terlibat. Selain itu, dari pihak Kemenristek/BRIN turut hadir juga beberapa pejabat tingginya.
Menurut Ryan, i-nose c-19 yang dikembangkannya saat ini masih pada tahap uji profil. Selanjutnya diperlukan banyak sampel pengujian dan beberapa tahap untuk nantinya dipasarkan ke masyarakat luas. Percepatan pengembangan alat tersebut sangat penting lantaran alat pengujian Covid-19 yang cepat dan murah sangat dibutuhkan supaya pandemi Covid-19 ini dapat terkontrol.
Sampai sekarang, sudah ada enam i-nose c-19 yang berhasil diproduksi. Namun diperlukan sekitar 10 – 20 alat untuk kebutuhan pengujian sampel yang lebih banyak ke depannya. ”Alhamdulillah dari kementerian (Kemenristek/BRIN, red) mendukung dalam pembuatan alat baru dan operasionalnya nanti,” ungkap guru besar Departemen Teknik Informatika ITS ini.
Dikatakan Ryan, salah satu kendala yang hadapi saat ini adalah ketersediaan komponen dari alat tersebut yang biasanya tersedia di Indonesia, tapi saat ini sedang tidak ada. “Sehingga harus impor dari negara lain yang membutuhkan waktu lebih lama,” tuturnya saat dihubungi melalui pesan daring.
Dalam penjelasannya, Ryan memaparkan bahwa kecanggihan dari i-nose c-19 adalah cara kerjanya dengan memanfaatkan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan untuk memproses sampel dari bau keringat ketiak. “Bau keringat akan diubah menjadi sinyal listrik yang kemudian diklasifikasikan menggunakan AI,” terang Ryan.
Selain itu, lanjutnya, adanya fitur near-field communication (NFC) memudahkan pengisian data yang cukup dengan menempelkan e-KTP pada alat deteksi cepat Covid-19. Penggunaan cloud computing sebagai penyimpan data juga mendukung i-nose c-19 agar dapat terintegrasi dengan publik, pasien, dokter, rumah sakit maupun laboratorium.
Setelah memasukkan nomor telepon seluler (ponsel), sertifikat elektronik yang menyatakan hasil tes positif atau negatif dari yang bersangkutan akan segera dikirimkan melalui pesan daring. Sehingga jika dihitung dari awal pemeriksaan, Ryan menyatakan kurang lebih membutuhkan waktu 3,5 menit sampai hasil sudah keluar.
Terakhir, Ryan mengharapkan semoga i-nose c-19 ini dapat segera dikomersialkan dalam waktu maksimal tiga bulan ke depan. “Melihat semakin meningkatnya penyebaran virus Covid-19 ini, dunia tentunya sangat membutuhkan banyak teknologi screening yang mudah dan cepat untuk diimplementasikan,” tandasnya mengingatkan. (ita)