Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan jumlah smelter atau fasilitas pemurnian hasil tambang mineral pada tahun 2024 terbangun sebanyak 53 smelter. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Ridwan Djamaluddin pada Konferensi Pers Virtual Capaian 2020 dan Kinerja 2021.
Hingga tahun 2020, sudah terbangun 19 smelter dan ditargetkan akan bertambah menjadi 23 smelter di 2021. Pada 2022 ditargetkan 28 smelter beroperasi dan 53 smelter beroperasi pada 2023 dan 2024.
Nilai investasi dari pembangunan smelter diproyeksikan akan mencapai USD 2,228 miliar pada tahun 2021, kemudian meningkat menjadi USD 4,883 miliar di 2022, dan USD 2,055 miliar pada 2023.
“Smelter-smelter ini dibangun sebagai tindak lanjut dari kewajiban Undang-Undang (UU), sehingga semua mineral harus diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Pemerintah berusaha keras untuk itu. Perkembangan ini memang bergeser sedikit dari rencana semula. Karena pandemi Covid-19, badan usaha menyesuaikan rencana kerja mereka dalam pelaksanaan pembangunan smelter, namun dengan target akhir yang masih sama, yakni pada akhir 2023 semuanya harus terbangun dan beroperasi,” jelas Ridwan, pekan lalu.
Sementara untuk hilirisasi batubara saat ini sudah dilakukan Coal Gasification dan Underground Coal Gasification (UCG) yang masih dalam tahap perencanaan atau pembangunan. Untuk coal upgrading, coal briquetting, dan cokes making saat ini sudah selesai konstruksi. Selain itu, masih ada potensi hilirisasi batubara lainnya yang bisa dikembangkan, yakni coal liquefaction dan coal slurry.
“Untuk batubara, selain pemanfaatan langsung, pemerintah juga memerintahkan badan usaha untuk melakukan hilirisasi batubara. Ada Coal Gasification, Underground Coal Gasification, Coal Upgrading, Coal Briquetting, Cokes Making, Coal Liquefaction, dan Coal Slurry. Semua ini dalam rangka meningkatkan pemanfaatan batubara, sekaligus juga menggunakan batubara dengan cara yang lebih bersih.
Salah satu proyek hilirisasi batubara yang sudah berjalan cukup maju adalah pengembangan batubara melalui Coal to Dimethyl Ether (DME). Proyek ini dilakukan oleh PT Bukit Asam, bekerja sama dengan Pertamina dan Air Products, di Tanjung Enim dengan target COD tahun 2024.
“Ini semua dilakukan untuk mengurangi impor LPG sebesar 1 juta ton pertahun atau senilai Rp 9,2 triliun/tahun apabila kita berhasil menjalankan program ini.”
Selain hilirisasi, terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2020 membuat perhatian kepada kegiatan reklamasi atau pengelolaan lahan bekas tambang meningkat. Pada tahun 2020, 100% program reklamasi lahan bekas tambang telah direalisasi. “Dari 7 ribu hektare yang direncanakan, 7 ribu hektare pula lahan reklamasi sudah dikelola,” pungkas Ridwan.
Untuk tahun 2021, Ditjen Minerba memprioritaskan kegiatan kepada pengawasan dan penilaian reklamasi berbasis teknologi. Ditargetkan, 7.025 hektare lahan bekas tambang akan direklamasi. (sak)