Sebagai anak muda, Mayang Novita Sanjaya tak mau diam duduk manis. Mahasiswi Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya Bandar Lampung itu telah berhasil mengelola bisnis fashion dan penyewaan kebayanya dalam usianya yang masih belia tersebut.
Ketika bisnis kebayanya sudah mulai lancar, ia tidak bisa menahan diri untuk belajar seluk-beluk budi daya udang vaname. Mengapa tidak, Lampung ialah sentra produksi udang yang utama di Indonesia.
Saat pandemi Covid-19 mulai melanda, usaha fashionnya buntu. Tanpa buang waktu, Mayang banting setir terjun ke usaha budi daya udang vaname, primadona udang Indonesia sejak 10 tahun terakhir ini.
Toh, dia sudah belajar seluk-beluknya, termasuk pengenaan herbal sebagai suplemen pakan udang yang diyakini dapat menambah daya tahan hewan Crustacea itu menghadapi penyakit endemik virus bintik putih.
Mayang menyewa dua petak tambak, ukuran 3.000 dan 2.500 m2, di Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan. Segala persiapan sudah dilakukan dan bibit udang Vaname telah ditebar dengan pola intensif. “Harganya sedang bagus. Ada risiko penyakit. Tapi, kita telah berikan pakan dengan campuran herbal. Sejauh ini hasilnya bagus,” ujar Mayang, seperti dikutip AntaraLampung.
Udangnya tumbuh sehat dan gemuk. Sekitar September nanti Mayang akan melakukan panen perdana setelah udangnya tiga bulan di kolam. Bila tidak ada aral melintang, Mayang dapat memanen lima hingga enam ton udang. Dengan harga rata-rata Rp55 ribu per kg di tambak, ia bisa mengantungi pemasukan Rp275–330 juta. Keuntungan Rp120–150 juta sudah ada di depan mata.
Adi Handoyo, pengusaha yang membuka tambak di Lampung Timur dan Jawa Timur, mengaku produk udang vaname dan windunya aman. Hampir seluruh produksinya diekspor. “Pasarnya di Tiongkok, Jepang, dan USA. Harganya terkoreksi sedikit saja. Tapi masih oke. Pengiriman lancar,” katanya
Di marketplace e-commerce Jakarta, harga udang Vaname beku saat ini sekitar Rp110.000 per kg. Di tingkat pengusaha tambak, di Lampung, pedagang pengumpul membeli dengan harga rata-rata Rp55 ribu per kg. Udang windu 30 persen lebih mahal. Ukurannya memang lebih besar, penampilannya lebih menawan.
Meski pun harganya keren dan pasarnya terbuka, namun reputasi udang windu asli Indonesia itu tergeser oleh udang Vaname, yang berasal dari Pantai Barat Benua Amerika, sejak 10 tahun terakhir. Kehatian-hatian yang tinggi dalam budi dayanya. Modal yang dibutuhkan untuk usaha budi daya udang windu relatif lebih tinggi dari udang vaname.
Secara umum, kebutuhan akan kualitas air tambah tidak berbeda jauh antara satu jenis udang dengan yang lain. Keasaman air tambak harus terjaga di level netral atau sedikit basa (pH 7 – 8), kadar oksigen dalam air tinggi.
Salinitasnya (kadar garam) yang diperlukan antara 2–2,5 persen, lebih rendah dari air laut yang secara umum di atas tiga persen, dan karenanya perlu air tawar untuk menurunkan salititas air baku dari laut. Syarat lain, air tambak harus bebas dari cemaran bahan kimia dan kuman penyakit.
Di lapangan, mengelola Vaname lebih rendah risikonya. Vaname lebih toleran pada kisaran salinitas yang lebih lebar. Dalam budi daya tambak intensif, dengan populasi yang padat, daya hidup (survival rate) udang vaname bisa mencapai 80-82 persen, sementara udang windu hanya 56-58 persen.
Dengan begitu, biaya untuk pengadaan benur pada udang windu lebih tinggi. Udang vaname ini relatif mudah dibiakkan dan dipijahkan sehingga benurnya tidak terlalu mahal.
Yang paling diperhitungkan dalam usaha tentunya urusan pakan yang menelan biaya 70–75 persen dari modal kerja. Udang windu yang berkepala hijau, kulit abu-abu-kehitaman, dengan garis-garis coklat di punggungnya itu, menuntut pakan dengan protein tinggi.
Beberapa data lapangan menunjukkan, feed conversion ratio (FCR), yakni perbandingan pakan yang diberikan dengan pertambahan berat udang 1,8 hingga 1,9. Artinya, perlu pakan 1,8–1,9 kg untuk setiap penambahan 1 kg udang windu. Pada vaname lebih ekonomis. FCR-nya 1,35–1,40.
Tak heran bila kini sebagian besar dari tambak di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Maluku dan Papua, para petambaknya banyak yang memilih vaname. Alhasil, dari produk udang nasional yang mencapai 520 ribu ton pada 2019, Vaname menyumbang 65 persen dan udang windu 20 persen.
Selebihnya udang jerbung, udang kipas, udang palemon merah, dan udang galah (air tawar). Ada pula udang tangkapan dari laut atau sungai, namun jumlahnya tidak besar.
Seluruh jenis udang itu menyumbang 39 persen (USD1,6 miliar) dari ekspor hasil perikanan Indonesia 2019 yang secara total mencapai USD4,1 miliar. Permintaan udang secara global naik rata-rata 6–7 persen per tahun, yang kemudian ikut mendorong produksi nasional.
Meski ditimpa pandemi Covid-19, menurut Adi Handoyo, seorang pengusaha udang Lampung, permintaan tak lantas menyusut. ‘’Tumbuh, tapi tidak besar,” katanya.
Yang mengalami tekanan, menurutnya, ialah produk perikanan yang bernilai premium seperti lobster, ikan baronang, kerapu, serta ikan subtropis seperti ikan salmon.
Maklum saja, produk perikanan mahal itu biasa disajikan di meja restoran papan atas yang harus mengurangi tamunya di masa pandemi. “Untuk jenis konsumsi rumahan tak terlalu tertekan,” Adi menambahkan.
Tak heran bila Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap menargetkan bahwa produksi udang tetap meningkat dan diharapkan menyentuh angka 600 ribu ton pada 2020 ini. Investasi di tambak udang masih tumbuh.
Pada kuartal satu 2020, perikanan tumbuh 3,6 persen (year on year), tapi ekspornya tumbuh 9,8 persen dengan motornya adalah udang. Pada kuartal kedua lalu diperkirakan subsektor perikanan tumbuh sekitar 3 persen dan akan positif di kuartal ketiga.
Potensi Besar
Indonesia memiliki sekitar 400 ribu ha pantai yang sudah dioperasikan sebagai kawasan tambak. Dari jumlah itu, sekitar 240 ribu ha yang aktif berproduksi, dan hanya 60 ribu ha saja yang dimanfaatkan untuk tambak udang intensif. Hasilnya, umumnya 10–12 ton per ha untuk tambak rakyat, dan dapat berlipat dua kali untuk tambak yang diusahakan korporasi besar.
Budi daya tambak udang ini menyebar di seluruh Indonesia. Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara adalah penyumbang terbesar. Di daerah itu pula investasi ke budi daya tambak terus mengalir, dan udang Vaname menjadi prioritasnya. Potensi untuk pengembangannya terbentang luas.
Udang vaname menjadi penyelamat ketika pada 2005-an, bisnis budi daya udang Indonesia susut drastis karena gangguan penyakit. Banyak petambak dan pengusaha beralih ke vaname dan berhasil. Sejak itu pula ekspor Indonesia kembali meningkat. Saat ini Indonesia menempati peringkat keempat eksportir udang terbesar di dunia, di bawah India, Equador, dan Vietnam.
Kesempatan masih terbuka. Permintaan udang di pasar internasional kuat dan di pasar domestik tetap ramai. Bila tren yang ada bisa dipertahankan, dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia bisa menyalip Vietnam, sebagaimana beberapa tahun lalu ketika Indonesia dapat mengungguli Tiongkok dan Thailand.
Anak muda seperti Mayang Novita Sanjaya di Lampung itu agaknya ingin menjadi bagian dari momen sejarah ini. Tentu, ada risiko. Tapi ia telah mengkalkulasikannya dengan cermat. (indonesia.go.id)