Stunting Akibat Anemia Saat Hamil dan Asap Rokok
KESEHATAN PERISTIWA

Stunting Akibat Anemia Saat Hamil dan Asap Rokok

Satu dari tiga balita di Indonesia diketahui mengalami stunting. Temuan itu membuat stunting masih menjadi masalah gizi utama di Indonesia. Meski stunting erat kaitannya dengan kekurangan gizi, sebenarnya faktor pemicu stunting sangat beragam.

Seperti yang dipaparkan oleh Siti Rahayu Nadhiroh SKM MKes dalam penelitian disertasinya baru-baru ini. Ahli Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) itu menerangkan bahwa stunting atau rendahnya pertumbuhan bayi (kerdil) dapat disebabkan oleh kombinasi anemia dan asap rokok saat masa kehamilan.

Menurutnya, bayi dengan paparan kombinasi tersebut memiliki skor pertumbuhan linier (panjang badan) lebih rendah. Hal itu jika dibandingkan dengan bayi yang tidak terpapar sama sekali atau terpapar asap rokok saja atau mengalami anemia kehamilan saja.

“Bayi dengan paparan kombinasi asap rokok dan anemia kehamilan juga memiliki skor perkembangan motorik paling rendah dibandingkan bayi non paparan dan paparan tunggal (anemia kehamilan saja atau asap rokok saja, Red). Kondisi ini bila berlangsung terus-menerus, maka bayi berisiko mengalami stunting,” ujarnya pada wawancara daring Selasa (11/08).

Dalam penelitian disertasinya itu, Nadhiroh memaparkan, bayi dengan paparan kombinasi anemia kehamilan dan asap rokok memiliki skor pertumbuhan linier lebih rendah secara signifikan sebesar 11,4 poin. Lalu, panjang badan menurut umur juga lebih rendah secara signifikan 0,8 poin dibandingkan bayi tanpa paparan.

Sedangkan pada perkembangan motorik, lanjutnya, bayi memiliki skor motorik lebih rendah 6,8 poin dibandingkan bayi tanpa paparan. “Ini terjadi pada bayi yang terpapar asap rokok saat kehamilan hingga usia enam bulan dan ditambah ibu mengalami anemia saat kehamilan,” jelas Nadhiroh.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 163 ibu hamil di tujuh puskesmas di Jakarta tersebut, diketahui bahwa sepertiga ibu hamil mengalami anemia. Sedangkan sepertiga bayi terpapar asap rokok dan kurang dari 10 persen bayi terpapar keduanya. Selain itu, seperempat bayi juga mengalami risiko perkembangan motorik yang lambat.

Hasil penelitian ini tentu saja menjadi sinyal kurang baik bagi upaya penurunan stunting yang tengah digencarkan oleh kepemimpinan Joko Widodo. Nadhiroh menyarankan perlunya integrasi program pengendalian rokok dengan program kesehatan ibu anak. Khususnya pada ibu hamil dan bayi di bawah dua tahun dalam upaya memenuhi target penurunan stunting di Indonesia. (ita)