Cuaca Ekstrim di Sekitar Dedaunan
KOMUNITAS PERISTIWA

Cuaca Ekstrim di Sekitar Dedaunan

Fenomena embun es kembali hadir di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Kristal-kristal es mulai muncul awal Juli lalu. Sejauh ini baru terlihat menghampar di rerumputan di sekitar Candi Arjuna.

Satu dari tujuh situs candi yang berada di Desa Dieng, Kecamatan Batur, Banjarnegara. Butir-butir es itu mulai terbentuk pada dini hari, mencapai puncaknya pada Subuh, sekira pukul 04.00-05.00 WIB, dan menghilang pada sekitar pukul 08.00 WIB

Kehadiran padang kristal es itu tentu menambah eksotisme Dieng sebagai kawasan wisata alam. Dataran tinggi Dieng yang terletak pada elevasi 2.100 meter dari permukaan laut (dpl), lebih instagramable. Banyak pengunjung datang sekalipun di tengah suasana pandemi. Pada Sabtu-Minggu (25-26 Juli 2020), misalnya, pengunjung yang datang tiga kali lipat dibanding weekend sebelumnya.

Tercatat embun es itu telah muncul tujuh kali sepanjang Juli ini, termasuk tiga hari berturut-turut pada 24, 25, dan 26 Juli lalu. Gambar embun es ini segera viral dan menyebar melalui berbagai platform media sosial. Arus wisatawan diperkirakan akan terus meningkat, apalagi embus es ini diperkirakan akan hadir sampai September nanti, ketika arus angin dingin dari Benua Australia mereda.

Pemerintah Kabupaten Banjarnegara tak mau teledor dengan kehadiran wisatawan yang membeludak di saat berlangsungnya pandemi Covid-19. Protokol kesehatan tetap diberlakukan secara lebih ketat pada Agustus nanti, saat destinasi wisata itu secara resmi dinyatakan dibuka kembali. Pada saat itulah akan dimulai pengenaan sanksi bagi pengunjung yang enggan mengenakan masker.

Suhu Ekstrim

Dieng adalah destinasi wisata yang unik. Dataran tinggi vulkanik ini tidak saja menyajikan bentang alam yang berbeda, karena berada dalam lembah dataran tinggi dan dikepung tiga puncak gunung. Lebih dari itu, di sana ada kawah-kawah vulkanik yang aktif, kepundan purba, situs sejarah era Hindu, dan pesona budaya pertanian hortikultura yang tak banyak bisa ditemui di tempat lain. Pada setiap kemarau, muncul atraksi tambahan yakni hamparan kristal es.

Kepala Stasiun Geofisika BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie mengatakan, memasuki musim kering kemarau ini ditandai dengan bertiupnya angin kering dari Australia di atas Jawa Tengah (Jateng). Angin itu membuyarkan segala jenis awan. Maka, langit pun bersih tanpa awan.

Pada saat itu, tutur Setyoajie, terjadi outgoing radiation yang maksimum. Artinya, pancaran gelombang termal dari permukaan bumi bisa lebih besar karena tidak terhalang awan. Akibatnya, permukaan bumi (tanah) menjadi lebih dingin di malam hari.

Permukaan tanah yang dingin itu, pada gilirannya dapat menyebabkan helaian rumput dan daun-daun kentang cepat mendingin. Permukaan benda yang tipis akan terasa lebih dingin bila terpapar udara di malam hari. Fenomena itu yang menjelaskan mengapa pagar besi terasa lebih dingin dibanding pagar kayu, atau mengapa dinding mobil sering berembun, sedangkan dinding tembok tidak.

Di Dieng, radiasi termal di malam hari itu mengakibatkan defisit panas terbesar terjadi menjelang pagi. Pada saat itu, menurut Setyoajie, suhu di dekat permukaan turun sampai di bawah titik beku di bawah 0o C. Beberapa pengamatan amatir menunjukkan, penurunan suhu akibat konveksi (kehilangan panas lantaran radiasi gelombang termal) mencapai minus 4 hingga 6o Celsius.

Namun, Triwidodo Arwiyanto, peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam risetnya 1996 membuktikan bahwa terjadinya frost itu terkait dengan kehadiran bakteri inti es, yakni bakteri yang dapat berperan sebagai katalisator terbentuknya kristal es.

Dikemukakan Arwiyanto laporan berjudul “Isolasi Bakteri Inti Es” di Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia (Vol. 2 no. 1/1996), kristal itu dapat terbentuk pada air cucian dari daun kentang dan daun kacang babi (khas Dieng). Sementara itu, kristal es tak muncul dari air cucian daun bawang, daun kubis, maupun air bekas cucian tanah.

Dalam penelitiannya itu, sampel yang digunakan adalah daun bawang, kubis, kentang, dan kacang babi, yang diambil dari Dieng. Daun-daun itu diiris lalu diambil sejumput untuk dimasukkan ke dalam tabung dan diisi air. Tabung dikocok, lalu airnya dikeluarkan. Bakteri yang ada pada daun tentu akan terlarut di dalam air yang kemudian didinginkan dalam suhu -10o C selama satu jam.

Dalam waktu dua menit, kristal sudah terbentuk pada tabung air cucian daun kentang dan kacang babi, tapi tidak pada tabung air daun kubis dan bawang. Dari hasil penelitian mikrobiologisnya, Arwiyanto pun menemukan bukti adanya bakteri inti es di daun kentang dan kacang babi. Bakteri itu berpembawaan khas, yakni tubuhnya mengandung gelatin, pati, enzim katalase, dan enzim-enzim yang terkait dengan metabolisme gula.

Penelitian Arwiyanto hanya menunjukkan bahwa kristal es itu tidak hanya terbentuk karena suhu yang rendah, namun ada mikroba yang bisa mengkatalisasinya. Peneliti UGM ini juga tak menunjukkan pada suhu kritis berapa kristal es itu mulai terbentuk.

Teori lain yang berkembang mengatakan, massa udara pada angin kering dari Australia itu tak selalu bergerak secara lurus. Ada olakan-olakan tertentu saat melewati dataran tinggi dengan bentang alam yang khas.

Maka, frost ini tidak hanya muncul di Dieng. Ada frost juga di kebun teh Pangalengan (1.600 m dpl), Patuha (2.200 m dpl), bahkan di Gambung yang hanya 1.300 m dpl. Semua itu di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Teori radiasi termal sulit menjelaskan ada frost di ketinggian 1.300 m dpl.

Warga Dieng sendiri telah puluhan tahun mengenal fenomena kristal es yang mereka sebut sebagai embun upas, yang berarti embun yang berbisa. Ketika muncul di ladang kentang, sudah pasti tanaman di situ akan segera layu. Daun yang tertempel frost itu rusak seketika. Tahun 2019, di luar kisah puluhan ribu wisatawan datang menyongsong hamparan kristal es, tidak kurang 10 ha ladang kentang petani Dieng puso dihantam embun upas itu.

Sejauh ini memang belum ada teori yang memuaskan untuk menjelaskan terjadinya cuaca mikro ekstrem di hamparan dedaunan itu. Yang bisa terkonfirmasi, cuaca ekstrim itu hanya terjadi di lahan yang terbuka, sekitar 0 – 60 cm dari permukaan tanah. Skalanya pun terbatas. Maka, ketika disebut suhu – 4o C di sekitar daun kentang, tak berarti suhu udara di seluruh desa – 4o C.

Pengukuran udara punya cara standar tersendiri. Termometer dipasang pada sangkar berbentuk lemari dari kayu yang di empat sisinya dibuat ventilasi yang membuat udara leluasa keluar masuk. Namun, air hujan dicegah masuk. Sangkar itu dicat putih dan diletakkan di lahan terbuka, sekitar 1,2 – 1,5 meter di atas permukaan tanah. Termometer dan higrometer (pengukur kelembaban udara) ada di dalamnya.

Suhu ekstrem di lingkungan cuaca mikro di dekat daun kentang dan rerumputan adalah fenomena unik. Belum terjelaskan secara gamblang. Boleh jadi ada distorsi pengukuran, saat bola air raksa termometer tertempel kristal es, sehingga mengurangi akurasinya.

Yang pasti, suhu udara sekeliling beberapa derajat lebih tinggi. Secara rata-rata suhu dini hari di Dieng pada saat kemarau yang kering itu hanya drop paling jauh sampai 8-9o C. Tak akan membekukan air dalam botol, dan bukan temperatur yang berbahaya untuk warga tropis. (indonesia.go.id)