Sade, Benteng Terakhir Suku Sasak
PERISTIWA SENI BUDAYA

Sade, Benteng Terakhir Suku Sasak

Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat menyimpan kekayaan wisata yang luar biasa. Ada wisata pantai, wisata pulau-pulau kecil nan menawan, wisata kerajinan, serta wisata budaya.

Belum lama ini, kami berkesempatan mengunjungi pulau cantik yang menjadi pusat kegiatan pemerintahan provinsi berjuluk Bumi Gora.

Di antara sekian banyak destinasi wisata di Lombok, salah satu yang menarik untuk dikunjungi adalah Dusun Sade. Letaknya di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, sekitar satu jam berkendara dari ibu kota Mataram atau sekitar 20 menit dari Bandar Udara Internasional Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Posisinya yang berada di tepi Jl Raya Praya nan mulus menjadikan Dusun Sade sangat mudah untuk dicapai, baik dengan kendaraan pribadi atau menumpang angkutan umum. Sebuah plang nama besar bertuliskan ‘Selamat Datang di Desa Sade Rambitan’ menjadi penanda lokasi dusun adat yang sudah menjadi daerah tujuan wisata utama Lombok sejak 1980-an.

Sade adalah sebuah kampung dengan populasi 150 kepala keluarga atau sekitar 700 jiwa. Yang menjadikannya menarik untuk dikunjungi adalah kita bisa menyaksikan bagaimana para penghuni dusun hingga hari ini masih setia mempertahankan tradisi asli Suku Sasak, suku utama di Pulau Lombok.

Dinas Pariwisata NTB mencatat, dusun ini telah hadir sejak 1.100 tahun lampau dan sudah ditinggali oleh 15 generasi.

Sade merupakan satu dari sedikit dusun berpenduduk Suku Sasak yang masih memegang tradisi asli. Modernisasi yang terjadi telah banyak menggerus kesetiaan penduduk Sasak pada tradisi aslinya. Namun di Sade, hal itu tidak berlaku.

Salah satu tradisi itu adalah ajaran Islam Wektu Telu atau melaksanakan salat hanya dalam tiga waktu saja setiap harinya. Ajaran ini terpengaruh unsur Hindu Bali.

Di Sade, ajaran itu sudah tidak dianut lagi karena sudah menjalankan ajaran Islam salat lima waktu. Wektu Telu hingga kini hanya dianut oleh para penduduk Suku Sasak di Desa Bayan, yang letaknya di kaki Gunung Rinjani.

Gerbang besar warna cokelat berciri Bale Lumbung, rumah khas Lombok menjadi pintu masuk utama ke dusun unik ini. Sebuah buku tamu dan kotak teronggok di salah satu sudut bangunan utama dusun ini. Setiap wisatawan diminta untuk mengisi buku tamu sebagai data dan mengisi kotak dengan sumbangan seikhlasnya bagi dana pemberdayaan di Sade.

Memasuki lingkungan Dusun Sade kita akan langsung disambut oleh suasana bersahaja dan kesederhanaan yang masih dipertahankan masyarakat asli Suku Sasak.

Rumah yang oleh warga setempat disebut bale, masih beratapkan ijuk, berdinding anyaman bambu dan hanya berlantaikan tanah.

Kuda-kuda atapnya memakai bambu tanpa paku. Ada delapan tipe bale di Sade, yakni bale tani, jajar sekenam, bonter, beleq, berugag, tajuk, dan bencingah. Bale-bale itu dibedakan berdasarkan fungsinya.

Uniknya, setiap pintu masuk ke dalam bale dibuat rendah, sekitar 150 sentimeter, sehingga kita harus sedikit membungkuk ketika memasukinya. “Ini sebagai bentuk penghormatan tamu kepada tuan rumah,” kata Zaini.

Warga juga rutin membersihkan lantai tanah rumah memakai kotoran kerbau. Mereka meyakini kotoran kerbau itu mengandung zat yang mampu mengusir nyamuk dan memberikan efek hangat di dalam rumah terlebih di malam hari ketika udara dingin. Tradisi ini sudah dipertahankan sejak Sade berdiri.

Mata pencarian warga umumnya bertani serta menenun kain khas Lombok. Kegiatan bertenun kebanyakan dilakukan kaum hawa dan sudah dikenalkan sedari dini, di usia 9-10 tahun.

Corak tenunan pun beragam, ada yang polos tanpa dihiasi pola dengan dominasi warna-warna cerah kuning, ungu, dan hijau atau dengan pola di antaranya bale lumbung atau binatang seperti tokek. Hasil tenunan warga sebagian besar dijual langsung kepada wisatawan yang datang ke dusun ini.

Nilai-nilai tradisional yang dianut warga kampung ini tidak serta-merta membuat mereka menutup mata terhadap perkembangan dunia luar. Buktinya ketika kami memasuki dusun, rasa modernisasi sudah masuk. Warga sudah memasang listrik dan antena televisi pun bermunculan dari sela tiap-tiap rumah. Sejak 2001 listrik menerangi dusun ini

Sejumlah sepeda motor juga terparkir di depan bale. Warga juga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah umum. Bahkan sudah banyak pula yang meneruskan ke jenjang perguruan tinggi, baik di Lombok atau hingga Pulau Jawa.

Begitulah Sade dan warganya berjuang mempertahankan nilai-nilai tradisi asli dan tetap terbuka dengan modernisasi dan dunia luar. Sade memang benteng terakhir kelestarian Suku Sasak dari gerusan zaman.(indonesia.go.id)