Banjir seolah-olah telah menjadi ‘momok’ tersendiri bagi daerah perkotaan tiap musim penghujan tiba, dan menimbulkan kerugian yang tak sedikit tentunya.
Berangkat dari masalah itu, dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Ir Ismail Sa`ud M MT mengkaji pengaruh bangunan tinggi terhadap kontribusinya dalam menambah volume run off (air limpasan) beserta solusi penanggulangannya.
Dosen Teknik Infrastruktur Sipil ini menjelaskan bahwa dewasa ini perkembangan di perkotaan berlangsung dengan sangat cepat dan mustahil untuk dihindari.
Oleh karena itu, alih fungsi lahan kian menjadi tren. Lahan-lahan yang tadinya berupa kawasan resapan air hujan, tak lagi mampu menjalankan fungsinya karena telah disulap menjadi lahan terbangun.
“Dengan adanya alih fungsi lahan tersebut, apabila ada hujan maka air yang meresap berkurang dan menjadi run off atau air yang mengalir,” jelasnya.
Dipaparkan Ismail, perkembangan di perkotaan tak hanya dilakukan secara horisontal, namun juga secara vertikal. Hal ini terbukti dari banyaknya bangunan-bangunan pencakar langit di perkotaan yang meliputi pusat perbelanjaan, apartemen, kondominium, kantor, dan hotel.
Di Surabaya sendiri, saat ini ada 65 bangunan tinggi yang telah dibangun dengan ketinggian 20 hingga 79 lantai dan 65 bangunan tinggi yang lain dengan ketinggian 12 hingga 19 lantai. Jumlah tersebut belum ditambahkan dengan bangunan-bangunan bertingkat tinggi lain yang sedang dalam proses pembangunan.
Di lain sisi, menurut Ismail, air hujan tidak selalu jatuh tegak lurus karena adanya pengaruh arah angin. Oleh karena itu, ada kemiringan yang terjadi ketika air hujan jatuh. Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa dinding-dinding bangunan tinggi juga berpengaruh terhadap penambahan volume air hujan karena turut menambah aliran permukaan.
“Ada pengaruh lain di samping lahan yang tergantikan dari tanah resapan menjadi lahan terbangun, yaitu dinding bangunan bertingkat tinggi yang ikut berpengaruh terhadap penambahan volume run off-nya (volume alirannya, red),” papar lelaki berkacamata ini.
Namun saat ini, Ismail mengungkapkan bahwa rencana drainase Surabaya (Surabaya Drainage Master Plan, SDMP 1998) tidak mempertimbangkan kontribusi limpasan curah hujan dari bangunan bertingkat tinggi. Sehingga regulasi mengenai pengendalian limpasan air hujan dari bangunan tinggi belum ada.
Melihat situasi tersebut, Ismail mengaku rasa keingintahuannya tergugah sehingga penelitian tentang kajian ini pun terlaksana. “Oleh karena itu, penanganan khusus dalam mengendalikan limpasan hujan yang disebabkan oleh bangunan bertingkat tinggi juga diperlukan,” ujarnya mengingatkan.
Berdasar perhitungan yang telah dilakukannya, bidang vertikal tinggi seperti dinding bangunan ternyata memberi kontribusi 7 hingga 9 persen dari volume air hujan.
Karenanya, dosen kelahiran Sidoarjo ini beranggapan bahwa bangunan-bangunan bertingkat tinggi ini harus memiliki sistem pengalokasian air hujan sendiri, sehingga dapat membantu mereduksi banjir yang terjadi di perkotaan.
Menurutnya, ada dua pertimbangan yang dapat dilakukan. Alternatif yang pertama adalah dengan disediakannya tampungan air hujan sementara dari tiap bangunan bertingkat tinggi.
Hal ini dimaksudkan agar limpasan dari dinding bangunan bertingkat tinggi tidak turut membebani saluran publik yang telah disiapkan pemerintah. Ketika air di saluran publik surut, air tampungan dapat dikosongkan dengan cara dipompa keluar untuk dibuang atau diresapkan.
Sedangkan, solusi kedua ialah dengan menerapkan sistem pemanenan air hujan. Tidak jauh berbeda dengan alternatif pertama, melalui sistem ini air tetap ditampung namun bedanya tidak dibuang atau diresapkan melainkan dimanfaatkan sebagai air baku.
“Air hujan itu sebenarnya berkah, jika dapat dimanfaatkan sebagai penyedia air baku yang dapat digunakan untuk menyiram tanaman, mencuci, atau kegunaan yang lain,” tuturnya.
Alumnus Teknik Sipil ITS ini pun menarget agar sistem ini dapat diterapkan di lingkungan rumah warga, karena akan ada lebih banyak keuntungan yang diperoleh.
Selain sebagai pengendali volume limpasan air hujan dan mencegah terjadinya banjir, air hujan yang ditampung juga dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai air baku. Ismail mencetuskan ide ini sebagai sistem alokasi pengendali air yang cerdas (smart water allocation system).
Pemanfaatan itu, menurut Ismail, berkaitan dengan pentingnya tuntutan akan air baku di masa depan. Saat ini memang hampir tidak ada masalah mengenai ketersediaan air baku, namun tak dapat dipungkiri bahwa air baku yang bersumber dari daerah aliran sungai (DAS) lama kelamaan menurun baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut karena adanya faktor-fakor penyebab menurunnya kualitas air baku seperti pengaruh cuaca dan ulah manusia yang sulit dihindari. (ita)