Titik Cerah Harga Gas Industri
EKONOMI BISNIS PERISTIWA

Titik Cerah Harga Gas Industri

Sengkarut masalah gas industri belum juga tuntas. Presiden Joko Widodo pun sampai perlu angkat bicara dan mengeluhkan soal tersebut. Wajar saja Kepala Negara mengeluhkan harga komoditas itu, karena soal harga itu telah menjadi perhatian sejak 2016.

Dalam kesempatan rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, pekan lalu, Presiden Joko Widodo telah meminta jajarannya melihat betul penyebab tingginya harga gas, mulai dari harga di hulu, di tingkat lapangan, pada saat penyaluran gas, biaya transmisi gas, sampai di hilir atau di tingkat distributor.

“Pilihannya kan hanya dua, melindungi industri atau melindungi pemain gas,” kata dia dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan.

Jokowi juga meminta kementerian dan lembaga terkait mengecek ketersediaan gas industri serta meminta laporan pelaksanaan Perpres No.40 tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi di tujuh bidang industri yang telah ditetapkan.

Dalam kesempatan ini, Jokowi menyampaikan ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk menurunkan harga gas industri. Pertama, mengurangi jatah pemerintah USD2,2 per juta Btu pada struktur gas industri. Kedua, pemberlakuan DMO sehingga bisa diberikan pada industri. Dan, ketiga, bebas impor gas untuk industri.

Berkaitan dengan soal harga gas industri, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas bumi (SKK Migas) pun angkat bicara terkait mahalnya harga gas industri tersebut.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, harga gas di sumur atau level upstream masih relatif rendah. Rata-rata harga gas mencapai USD5,4 per juta british thermal unit (MMBTU).

“Ini tentu saja bervariasi. Kalau onshore sekitar USD4 (per MMBTU). Kemudian yang di-offshore agak lebih tinggi sedikit,” ujarnya, di Kantor SKK Migas, Jakarta.

Dwi menjelaskan, harga gas kemudian menjadi lebih tinggi setelah melalui proses distribusi ke industri. Proses distribusi ini dapat dilakukan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan penjual gas.

“Dalam perjalanannya sampai di industri kalau yang langsung dengan KKKS bisa USD6-USD7, sedangkan yang lewat trading bisa USD8-USD9 per MMBTU,” katanya.

Menurut Dwi, proses distribusi inilah yang perlu ditekan biayanya. Sebab, di level hulu dengan berbagai proses yang panjang, harga gas masih mampu dipatok di kisaran USD5,4.

“Kita yang kerjanya ngebor, survei begitu lama untuk eksplorasi jatuhnya bisa sekitar USD5. Tapi, hingga end user rentetan perlu dibuka,” tuturnya.

Kendati demikian, mantan Direktur Utama Pertamina itu memastikan bahwa pihaknya juga akan melakukan kajian mengenai penekanan biaya gas di level hulu.

“Kita juga excercise apa itu pajak, insentif, dan lain-lain sehingga bisa tekan harga gas. Memang perlu kita lihat blok per blok,” ujarnya.

Energi Berkeadilan
Yang jelas, Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam. Salah satunya adalah gas bumi. Bangsa ini juga telah menetapkan dalam pengelolaan energi diarahkan menuju energi yang berkeadilan.

Caranya bagaimana? Sesuai dengan bunyi regulasi neraca gas Indonesia disebutkan bahwa pencapaian energi yang berkeadilan itu melalui peningkatan akses secara merata dengan harga yang terjangkau dan tata kelola penyediaan energi yang lebih efisien.

Tidak itu saja, sebut pembukaan neraca gas Indonesia, sangat jelas disebutkan bahwa penyediaan gas harus diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan mengurangi ekspor secara bertahap.

Gas bumi tidak lagi dianggap sebagai komoditas ekspor semata tetapi sebagai modal pembangunan. Skala prioritas penggunaannya pun disebutkan dengan jelas, untuk transportasi, rumah tangga, dan pelanggan kecil, lifting minyak, industri pupuk, industri berbasis gas, pembangkit listrik, dan industri berbahan bakar gas.

Tak dipungkiri, secara makro, pasar gas juga tergantung dengan pasar internasional yang sangat dipengaruhi oleh volatilitas harga minyak. Harga minyak internasional naik, harga gas pun ikut terpengaruh.

Namun, adaptasi gas terhadap volatilitas minyak juga ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur, kontrak jual beli antara produsen dan konsumen serta pelaku usaha yang terlibat.

Di era Pemerintah Joko Widodo yang sudah memasuki tahun kedua, paradigma pemanfaatan gas sangat jelas, sebagai sumber pendapatan negara untuk penggerak pertumbuhan ekonomi melalui gas sebagai sumber energi, gas sebagai bahan baku (pupuk, petrokimia, baja, dan industri lainnya).

Sebagai ilustrasi, mengacu dari data neraca gas Indonesia, sumber daya alam sektor migas mulai kedodoran. Bahkan, negara ini sudah menjadi net importir di minyak, meskipun cadangan gas masih besar.

Indonesia dengan produksi minyak rata-rata 800.000 barel per hari sepanjang tidak ditemukan cadangan baru, minyak diperkirakan akan habis tidak terlalu lama lagi. Dari ilustrasi itu, keberadaan dengan cadangan gas bagi pemenuhan energi ke depan sangat strategis sekali.

Menurut data dari 2011 hingga 2017, Indonesia memiliki cadangan gas konvensional sebanyak 142,72 TSCF (triliun standard cubic feet) dari semula152,9 TSCF.

Negara ini memang kaya dengan sumber daya gas alam tersebut. Dari cadangan itu, cadangan baru yang memungkinkan dieksplorasi dari cekungan sedimen, baik di darat (onshore) maupun lepas pantai (offshore). Menurut data Kementerian ESDM, Indonesia memiliki 60 cekungan gas, 16 cekungan sudah berproduksi.

Dari sekian cekungan itu, sebanyak tujuh cekungan sudah terbukti tapi belum dieksplorasi,15 cekungan sudah diekplorasi namun belum ada penemuan, dan 22 cekungan yang belum dieksplorasi.

Berkaca dari paparan di atas, sangat disayangkan masih adanya keluhan dari pabrikan pupuk yang menghadapi permasalahan soal pasokan gas termasuk masih mahalnya harga komoditas tersebut.

Presiden pun sudah memberikan opsi penyelesaiannya melalui tiga opsi yang diusulkan. Dengan harapan, harga baru itu bisa segera direalisasikan dan ujungnya meningkatkan daya saing industri kita. (ist)