Unair Kukuhkan Tiga Guru Besar
KOMUNITAS PERISTIWA

Unair Kukuhkan Tiga Guru Besar

Rektor Universitas Airlangga Prof Moh Nasih kembali mengukuhkan guru besar baru. Kali ini, pengukuhan dilakukan kepada tiga guru besar yang semuanya adalah perempuan.

Tiga guru besar itu adalah Prof Dr Sri Sumarmi SKM MSi Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) guru besar aktif FKM ke-13; Prof Dr Edy Setiti Wida Utami Dra MS Guru Besar Fakultas Sains dan Teknologi (FST) guru besar aktif FST ke-12; dan Prof Dr Rr Asti Meizarini drg MS Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) guru besar aktif FKG ke-22.

Pengukuhan guru besar berlangsung di Aula Garuda Mukti Kantor Manajemen Kampus C, Sabtu (14/12) lalu. Pengukuhan guru besar berlangsung khidmat, diikuti oleh puluhan guru besar UNAIR, sivitas akademika, para tamu undangan, dan kerabat para guru besar yang dikukuhkan.

Prof Nasih mengatakan bahwa kontribusi guru besar adalah melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Ia mengimbau kepada tiga guru besar untuk mengemban tugas sebaik-baiknya, mendedikasikan diri untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan.

“Pengembangan IPTEK di Indonesia berada di pundak para profesor dan doktor. Kalau bukan doktor dan profesor untuk melakukan inovasi inovasi, siapa lagi,” ucapnya.

Tak hanya itu, rektor juga mengajak masyarakat untuk berdaya dan mendorong penciptaan teknologi yang bersumber daru pikiran para guru besar.

Cegah Stunting
Dalam pidatonya, Prof Dr Sri Sumarmi SKM MSi memaparkan tentang pencegahan stunting sejak menjadi calon pengantin (Catin). Menurutnya, catin wanita adalah sasaran yang paling tepat untuk intervensi gizi prakonsepsi karena mereka adalah calon ibu hamil.

“Keberadaan gizi prakonsepsi sangat penting sebagai upaya preventif dalam mengatasi masalah kesehatan ibu dan anak, termasuk untuk pencegahan stunting,” jelasnya.

Prof Mamik menjelaskan, kehamilan adalah kondisi yang tidak biasa yang terjadi pada wanita. Untuk itu, perlu diberikan perhatian khusus pada ibu hamil sehingga anak yang akan dilahirkan menjadi sehat. Terutama pada status gizinya.

Bayi yang lahir sehat adalah modal awal untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul, bebas stunting. Generasi yang tinggi. Sementara bayi stunting adalah kantong masalah kesehatan, terutama masalah kesehatan terkait gizi.

Bayi yang dilahirkan oleh ibu pendek dan status gizinya buruk berisiko melahirkan anak stunting. Selain itu, anak juga berisiko mengalami penyakit degeneratif dimasa depan.

Biji Sintetik
Prof Dr Edy Setiti Wida Utami Dra MS menyampaikan gagasan dan temuannya terkait peranan embryo somatic untuk mikropropagasi dan pelestarian plasma nutfah tumbuhan.

Prof Setiti menyebutkan, berbagai pendekatan telah diupayakan guna melestarikan keanekaragaman secara berkelanjutan. Salah satunya yakni melalui pelestarian tumbuhan secara in vitro.

Pelestarian tumbuhan secara in vitro memiliki beberapa kelebihan dibanding metode lain, yaitu lebih menghemat tempat, tenaga, biaya serta membuat pertukaran plasma nutfah lebih mudah dilakukan.

Pelestarian in vitro, cocok digunakan untuk tumbuhan yang memiliki tipe biji rekalsitran. Yaitu biji dengan kadar air tinggi sehingga tidak dapat disimpan pada temperatur dan kelembapan rendah.

Prof Setiti menggunakan teknologi biji sintetik dan kriopreservasi sebagai teknik penyimpanan tanaman dalam jangka menengah dan jangka panjang. Dari segi ekonomi, teknik benih sintetik dapat digunakan untuk propagasi secara massal, terutama untuk genotipe unggul sebagai bibit untuk perkebunan monokultur.

Era Artificial Intelligence
Prof Dr Rr Asti Meizarini drg MS menguraikan mengenai pengembangan material restorasi jenis porselen. Mahkota porselen awal disusun menggunakan feldspar sebagai material utama. Kemudian pada tahun 1903 dibuat dengan feldspathic oleh Land.

Guru besar Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UNAIR ke-22 itu melanjutkan, pengembangan terus dilakukan hingga pada tahun 1965 ditemukan pembuatan mahkota jaket porselen (all ceramic) pertama yang dilakukan McLean dan Hughes.

Sejumlah metode untuk pembuatan material restorasi gigi terus dikembangkan, bahkan merambah pada komputasi dan mesin.

Untuk menunjang kemampuan mesin dalam proses pengerjaan pembuatan material restorasi gigi juga dilakukan penambahan material lain yang bermikrostruktur halus.

“Pembuatan material restorasi gigi semakin mudah karena adanya artificial intelligence (AI), sehingga sistem konvensional tak lagi dibutuhkan. Pasien juga diuntungkan karena tidak perlu lagi dilakukan proses pencetakan rongga mulut. Diharapkan, perkembangan AI dapat diimbangi dengan hasil penelitian material ceramic baru,” pungkas ujar Asti. (ita)