Aliansi masyarakat sipil dan relawan Jawa Timur menggelar Kemah Kebangsaan dengan semboyan “membangun nasionalisme dan patriotisme yang inklusif dan toleran”.
Perhelatan ini diselenggarakan di Kedhaton Perdikan Tawangsari, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, akhir pekan lalu.
Tidak kurang dari 300 partisipan dari berbagai kota dan beragam profesi berkumpul di Kedhaton Tawangsari dalam rangka membincang isu kebangsaan dan pengarusutamaan strategi kebudayaan nasional.
Bambang Budiono selaku inisiator, mengatakan bahwa kegiatan ini sengaja digelar dalam rangka memupuk semangat kebangsaan yang tidak boleh jatuh pada chauvinisme dan eksklusivisme.
“Semua memahami, arus fundamentalisme berbasis SARA yang berkembang belakangan ini, telah bergerak melupakan akar-akar kebangsaan Indonesia yang dibangun dengan semangat inklusivisme dan toleransi,” terangnya. Minggu (24/02)
Menurut dia, itulah prinsip gotong royong yang diterjemahkan dari Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, kembali kepada pondasi kebangsaan. “Akan menjadi kekuatan untuk menghalau kekuatan radikalisme dan populisme yang menghendaki penyeragaman,” tuturnya.
Kebangsaan dan Revolusi Indutri 4.0
Kemah Kebangsaan dihadiri Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, Hilmar Farid PhD yang membawakan orasi kebangsaan bertajuk “Indonesia berdaulat, berdikari dan berkarekter”.
Selain itu, Kemah juga diramaikan oleh diskusi kebangsaan yang mengusung tema “Gerakan pemajuan kebudayaan dan revolusi industri 4.0” menghadirkan dua ahli, Eva Kusuma Sundari (Kaukus Pancasila MPR RI) dan Joko Susanto (dosen FISIP Unair).
Kegiatan yang berlangsung di Pendopo Kedhaton Tawangsari tersebut, dibuka Bupati Tulungagung Maryoto Birowo. Pembukaan Kemah juga dihadiri jajaran pemerintah Kabupaten Tulungagung.
Dalam orasinya, Hilmar Farid menyampaikan polemik kebangsaan dan kebudayaan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.
Ia mengingatkan bahwa, kemerdekaan politik sudah diraih oleh bangsa Indonesia, begitu juga dengan kemandirian ekonomi yang tidak berhenti dibangun. Satu-satunya yang menggambarkan ketergantungan dan ‘keterjajahan’ bangsa Indonesia ditemukan dalam aspek kebudayaan.
Masih menurut Hilmar Farid, globalisasi yang ditandai oleh arus informasi yang begitu deras, menjadikan bangsa Indonesia berpotensi tenggelam dalam arus perubahan.
Sementara segenap bangsa mulai kehilangan akar kesejarahan dan kebudayaan sendiri, pada saat bersamaan mayoritas orang semakin gemar untuk melirik dan meniru apa yang dimiliki oleh kebudayaan lain.
Hasil akhirnya, bangsa ini secara keseluruhan seperti sedang dalam situasi gamang di antara pilihan-pilihan yang disediakan oleh demokrasi dan globalisasi.
Polemik inilah yang kemudian menjadi pemantik diskusi kebangsaan yang dibawakan oleh para ahli di acara tersebut.
Eva Sundari dengan sangat tegas mengatakan bahwa, fenomena radikalisme dan populisme adalah fenomena kegagalan dalam menghadapi dahsyatnya revolusi industri. Beruntunglah bangsa Indonesia karena memiliki Pancasila.
Menurut Eva, Pancasila itu merupakan basis spiritualitas yang melampaui agama-agama. Di dalam Pancasila, tersimpan nilai-nilai yang memungkinkan bangsa ini menjadi bangsa yang terbuka secara pikiran, hati, dan spiritualitas.
Keceradasan pikiran, hati, dan spiritualitas adalah pijakan bagi bangsa Indonesia untuk kembali tampil sebagai bangsa yang kosmopolitan dan memiliki jiwa patriotisme dan nasionalisme yang inklusif dan toleran.
Mengawal Strategi Kebudayaan
Selain diskusi kebudayaan, Acara Kemah Kebangsaan juga dimeriahkan oleh ragam kesenian tradisional dan Festival Permainan Tradisional.
Pada acara pembukaan, peserta Kemah juga dimanjakan oleh Macapatan Tawangsari, Kethoprak kreasi yang mengangkat kisah “maniti amukti palapa’ dan ‘sejarah Abu Mansur’ sebagai pendiri perdikan Tawangsari. Kethoprak dibawakan oleh Sangggar Pariagung.
Saat tengah malam, ketika diskusi kebudayaan sudah selasi, giliran seni tradisi Jedhoran memainkan langgam-langgam Islam Jawa hingga jam 04.00 pagi. Kemah Kebangsaan begitu meriah karena dihayati oleh semua yang datang sebagai perayaan kebudayaan itu sendiri.
Pada hari kedua, Kemah Kebangsaan dilanjutkan dengan kegiatan Festival Permainan Tradisional. Kegiatan ini digelar di Omag Gajah, rumah yang dibangun pada tahun 1916 di Desa Simo, Kedungwaru, yang dianggap sebagai simbol bagi kearifan lokal dan ragam seni tradisi yang berkembang di kawasan tersebut.
Hilmar Farid kembali hadir diacara tersebut, untuk membuka sekaligus melaunching Festival Permainan Tradisional sebagai model yang perlu diduplikasi di berbagai daerah di Indonesia.
Festival diikuti oleh 250 pastisipan dari 19 Desa di Kecamatan Kedungwaru. Festival juga dimeriahkan oleh ragam kesenian tradisional yang berkembang di Tulungagung, terutama Reyog Kendhang dan Jaranan.
Selain Festival Permainan Tradisional, kegiatan Kemah Kebangsaan akan diakhiri dengan kegiatan konservasi, dengan menanam 500 bibit di kawan pegunungan Budheg, Tulungagung. Kegiatan ini bekerja sama dengan organisasi konservasi, Argo Pathok Candi Dadi (APC).
Seluruh prosesi Kemah Kebangsaan merupakan tahap awal yang dilakukan oleh para akademiisi, praktisi, dan pelaku-pelaku gerakan sosial yang terlibat di acara tersebut, dalam mengawal strategi kebudayaan demi kebangsaan Indonesia yang kosmopolitan dan berkarakter di masa-masa mendatang. (ist)