Berlokasi di Dusun Ngadiprono, Ngadimulyo, Kedu, Kabupaten Temanggung atau sekitar 11 KM dari alun-alun Kabupaten Temanggung, Pasar Papringan Ngadiprono mulai dikenal sebagai ikon baru Kabupaten Temanggung.
Pasar yang buka setiap hari Minggu Wage dan Minggu Pon pada kalendar jawa ini mulai beroperasi pukul 06.00 WIB – 12.00 WIB. Papringan menyajikan berbagai makanan khas tempo dulu yang sudah jarang ditemui, sayur mayur dan berbagai kriya hasil produksi lokal.
Pasar ini semakin menarik, selain karena berlokasi di tengah kebun bambu, pengunjung juga dimanjakan dengan iringan musik gamelan yang dimainkan secara langsung oleh musisi lokal.
Awal mula pasar ini dibangun adalah sebagai bentuk upaya memberikan nilai lebih kepada kebun bambu dengan memanfaatkannya menjadi pasar produk lokal tanpa menghilangkan ciri khas atau merusak kebun bambu itu sendiri.
Oleh karenanya pasar ini diberi nama Papringan atau lengkapnya Pasar Papringan Ngadiprono yang berasal dari asal kata Pring yang artinya bambu.
Transaksi pembayaran di pasar ini juga terbilang unik, yakni dengan menggunakan mata uang yang disebut Pring. Hal ini juga menambah daya tarik tersendiri bagi pengunjung lokal maupun wisatawan dari luar daerah.
Untuk bisa berbelanja di pasar ini, pengunjung harus menukar uang dengan kepingan Pring yang terbuat dari kayu berbentuk persegi panjang ukuran kecil di loket penukaran uang dekat pintu masuk. Satu Pring bernilai Rp 2000 dan berlaku kelipatan.
“Lokasi Pasar Papringan ini sebelumnya digunakan masyarakat sekitar untuk membuang sampah desa. Masyarakat tidak terpikir untuk mengembangkannya karena memang fokus pada kegiatan bertani dan berkebun. Setelah ada Pasar Papringan, bisa memberikan kegiatan dan pemasukan baru bagi masyarakat. Memperbaiki tingkat ekonomi dan kehidupan jadi lebih baik” ungkap Kepala Desa Ngadimulyo, Muhamin.
Kesuksesan Pasar Papringan tidak lepas dari gagasan kreatif Singgih S. Kartono selaku Founder and Director Spedagi, yakni sebuah komunitas dengan gerakan revitalisasi desa dengan tujuan mengembalikan fungsi desa sebagai komunitas lestari dan mandiri.
“Kami melihat bahwa desa ini sudah punya potensi, baik dari sumber daya alam maupun sumber daya manusianya, mereka punya kebun bambu, bahan-bahan untuk makanan dan sebagainya. Maka kami tinggal buatkan konsep bagaimana menghidupkan aktivitas masyarakatnya dengan memanfaatkan sumber daya yang sudah ada. Dan jadilah konsep seperti Pasar Papringan ini” ujar Singgih.
Singgih menambahkan, perlu proses panjang Pasar Papringan bisa menjadi seperti sekarang ini, dibutuhkan sinergi yang kuat antarkomunitas dan masyarakat serta perlunya dukungan dari pemerintah daerah demi kelangsungan dan pengembangan pasar kedepannya.
Keunikan pasar ini turut mendorong Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk melihat secara langsung bagaimana proses transaksi jual beli yang terjadi di sana sekaligus merasakan ambiance kebun bambu yang asri dan masih asli.
“Konsep yang diusung oleh Pasar Papringan ini terbilang unik. Dampak yang dihasilkan tidak hanya dampak ekonomi tetapi juga dampak sosial kepada masyarakatnya. Terlihat dari semakin makmur desa, tingkat kerjasama dan kepercayaan diri masyarakatnya juga ikut meningkat” ujar Deputi Riset, Edukasi dan Pengembangan, Abdur Rohim Boy Berawi saat mengunjungi Pasar Papringan.
Boy menambahkan bahwa konsep Pasar Papringan kemungkinan akan diadopsi kedalam salah satu program Bekraf yakni IKKON Jalan Tol yang akan hadir di tahun ini. (ist)