Jati diri memiliki arti penting bagi Seniman. Refleksi hasrat internal yang dibentuk oleh budaya dan lingkungan ini berpengaruh terhadap penciptaan karya sehingga ciri khas yang kemudian lahir menjadi label pembeda antara satu seniman dengan lainnya.
Oleh karenanya, pencarian identitas yang mempunyai andil besar terhadap kesuksesan seniman menjadi tuntutan dan wajib dilakukan.
Gambaran perjalanan yang ditempuh oleh empat perupa asal Jawa Timur: Agus Salim, Catur Hengki Koesworo, Edie Supriyanto dan Zainul Qusta dihadirkan pada gelaran pameran 25 karya seni lukis yang bertajuk “Equillibrium” pada 18 Januari – 9 Februari 2019 di Galeri Paviliun HoS.
“Equilibrium” bagi keempat seniman dianalogikan sebagai titik nol atau awal dimana mereka berangkat memulai sebuah pencaian jati diri dalam berkesenian hingga akhirnya diwujudkan kedalam sebuah konten visual yang mewakili karakter masing-masing.
Dalam perjalanannya, Agus Salim menemukan dirinya memiliki perhatian besar terhadap hubungan antar alam dan manusia.
Bentuk kritikan yang lahir dari keprihatinanya, dituangkan dalam karya bergaya naturalis menggunakan pendekatan ilustratif seolah menyiratkan sebuah dialog antara dua dan tiga dimensional.
Menyampaikan kritik yang sama, Zainul Qusta memvisualisasikan pesannya dalam wujud bidang-bidang yang berbentuk tak tentu dengan bahasa yang ambigu namun tetap menarik untuk diulas.
Berbeda dengan keduanya, Edie Supriyanto membungkus objek utama pada karya-karyanya kedalam karakter wayang, dengan tambahan latar khas ilustrasi Indonesia yang sangat filosofis.
Sementara itu, keseluruhan karya Catur Hengki Koesworo merupakan gambaran dari fenomena-fenomena yang tengah terjadi dan menggejala di Indonesia, kemudian olehnya divisualkan kedalam karya seni bergaya ilustratif yang menarik.
Pada akhirnya, seni menjadi sebuah sarana kontemplasi bagi seniman dalam berkarya. Dengan pendekatan tertentu yang diyakininya, empat seniman ini mengungkapkan kegelisahan mereka dan menerjemahkannya kedalam wujud karya seni.
Athian selaku kurator pameran mengatakan jika dihubungkan dengan karya-karya pada pameran ini, seniman mencoba menyaring gejolak diri mereka melalui nilai dan norma yang berlaku kemudian disampaikan kepada apresiator.
“Jadi pameran Equilibrium ini, bukan hanya soal memajang karya dan mengeksplorasi ide seniman, namun lebih dari itu, pengunjung (publik) dapat mengawal dari awal keterbacaan karya dengan pengalaman yang mereka rasakan lalu bebas memproduksi tafsir maknawinya dalam pameran ini,” jelas Athian. (ita)