Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin, menyerukan agar para politikus tidak melakukan politisasi agama untuk meraih kekuasaan dalam pelaksanaan pileg dan pilpres 2019.
Politisasi agama ini, menurutnya, bisa menjadikan terjadinya perpecahan di tengah masyarakat yang selama ini dikenal sangat toleran, saling menghormati keragaman dan menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas.
“Marilah berpolitik dengan melihat esensi agama dari nilai-nilai universalnya, menegakkan keadilan, menghormati dan melindungi hak dasar manusia,” kata Menag usai menjadi pembicara kunci dalam Simposium Internasional tentang Kehidupan Keagamaan, Rabu (7/11) di Hotel Novotel Yogyakarta.
Simposium yang dilaksanakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) bekerja sama dengan Kementerian Agama yang dihadiri para tokoh agama dan budayawan dari 15 negara.
Menurut Menag, setiap agama memiliki esensi kesamaan dari setiap ajaran pokoknya. “Sebagai masyarakat religius bangsa kita tidak boleh meninggalkan ajaran pokok agama kita karena kita semua menjalani kehidupan ini berorientasi pada nilai ajaran pokok tersebut,” katanya.
Pendapat senada juga disampaikan oleh peneliti ICRS, Dicky Sofjan, agama tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik untuk meraih kekuasaan. “Jangan sampai agama dimainkan tapi sebaliknya spirit dari ajaran agama itu yang dijalankan,” katanya.
Menanggapi pelaksanaan simposium internasional yang dilaksanakan ICRS ini, Menag mengakui tema yang dibahas dalam simposium tersebut relevan dengan kondisi kehidupan beragama di Indonesia maupun di dunia.”Saya sangat bersyukur karena tema sangat relevan tidak hanya bagi bangsa Indonesia tapi dunia,” katanya.
Ia menambahkan hasil simposium ini nantinya bisa menghasilkan beberapa rekomendasi yang bisa menjadi rujukan bagi pemerintah, kalangan agamawan dan budayawan serta para akademisi di kampus. “Nantinya bisa ditindaklanjuti pemerintah, kalangan akademisi, agamawan dan budayawan,” katanya.
Jan Figel, peneliti dari lembaga EU Speciasl Envoy for Freedom of Religion and Belief, saat menyampaikan pemaparannya mengatakan Indonesia merupakan salah satu rujukan sebagai negara muslim yang berhasil menjamin kehidupan kebebasan beragama dan menjaga pluralitas dengan baik.
“Saya kira ini tidak lepas dari keberadaan Pancasila yang mengedepankan harkat dan martabat manusia,” ujarnya.
Sementara Paul Marshall dari Baylor University and Hudson Institute, Amerika Serikat, mengatakan jaminan kebebasan beragama menjadi persoalan serius dihadapi beberapa negara di dunia seperti yang terjadi di Myanmar, India dan negara-negara di kawasan timur tengah.
Menurutnya, pemerintah di setiap negara perlu mengatur agar kehidupan antar kelompok umat beragama bisa hidup berdampingan satu sama lain. “Umat manusia harus saling respek, bisa menempatkan kebebasan beragama sebagai bentuk penghormatan akan hak asasi manusia,” katanya. (ist)