Prof Dr Mohammad Mahfud MD SH SU dihadirkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga dalam Seminar Nasional pada Rabu (24/10) di Aula Soetandyo, Gedung C FISIP.
Mahfud MD menjadi pembicara kunci dalam seminar bertema “Menghadapi Keberagaman Indonesia dengan Toleransi” bersama dengan Ali Fauzi Manzi, pegiat toleransi sekaligus mantan teroris dan adik kandung Amrozi. Diskusi dimoderatori Fahrul Muzaqqi SIP MIP, dosen FISIP.
Mahfud MD menyampaikan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia didasari semangat kegotongroyongan. Menurut Mahfud, perbedaan atau keanekaragaman tidak perlu dipermasalahkan serta dibesar-besarkan hingga menjadi problem.
Sebab, keanekaragaman merupakan fitrah. Manusia, lanjut Mahfud, lahir dalam perbedaan. ”Karena, perbedaan itu adalah ciptaan Tuhan,” ujarnya. “Kamu jangan berperang dengan di antara kamu karena perbedaan,” imbuhnya.
Mahfud menjelaskan, atas fitrah keberbedaan itu, harus ditemukan satu kesamaan agar manusia antara satu dengan yang lain mampu membangun kemajuan. Di Indonesia, kesepakatan atau kesamaan satu itu telah terwujud dalam ideologi yang bernama Pancasila.
“Kalau ranah pribadi, perbedaan itu menjadi hak masing-masing,” sebutnya. “Namun, untuk hal di luar atau publik itu, ini harus sama sesuai kesepakatan bersama,” imbuhnya.
Menurut Mahfud, toleransi menjadi sebuah keharusan bagi kita sebagai bangsa yang beragam untuk dapat mewujudkan kemajuan. Di antara kita mesti terbangun sikap satu tujuan dan langkah meski dalam perbedaan.
Tidak ada pemberlakuan hak berdasar minoritas dan mayoritas dalam HAM. Dan, perbedaan harus diolah dengan demokrasi permusyawaratan, tidak sebebas-bebasnya.
”Namun, terkait dengan itu (keberagaman dan toleransi, Red), saat ini kita menghadapi beberapa tantangan,” sebutnya.
Tantangan tersebut, menurut Mahfud, berupa tantangan demokrasi dan integrasi. Yakni, gejolak perdebatan antara demokrasi sebagai kebebasan dan integrasI sebagai respons atas fitrah bangsa Indonesia yang beragam.
”Selain itu, tantangan soal masifikasi informasi teknologi digital dan serangan ide-ide budaya luar. Perang proksi (infiltrasi dan pemecahbelahan). Serta, korupsi dan ketidakadilan,” katanya.
Pada akhir, Mahfud menyebutkan bahwa intoleran itu sangat berbahaya seperti yang disampaikan Ali Fauzi yang pernah menjadi seorang intoleran. Ada kecenderungan keinginan seseorang intoleran untuk membunuh.
”Karena itu, saya kira, tugas kita ke depan juga sebagai bangsa, bagaimana agar membangun kesadaran bertoleransi ini, bertoleransi dalam perbedaan. Karena, perbedaan itu adalah keniscayaan bagi setiap bangsa,” ungkapnya.
”Perbedaan agama, perbedaan suku, perbedaan ras, perbedaan aspires politik. Itu keniscayaan,” imbuhnya. Menurut Mahfud, demokrasi menjadi kunci mewadahi perbedaan itu. Bukan teror. Bukan tindakan-tindakan kekerasan.
Sementara itu, Ali Fauzi yang menjadi pembicara kedua menyampaikan bahwa tindakan teroris antara dulu (2000-2010) dan sekarang (2010-2018) berbeda. Dulu gerakan aksi teroris berafiliasi dengan gerakan Al-Qaedah. Mereka menggelar aksi dengan bom mobil dan bom rompi. Dan, orientasi yang diserang adalah simbol-simbol barat.
”Kalau yang sekarang berbeda. Gerakannya berafiliasi dengan ISIS. Yang disasar adalah polisi, pejabat negara, bahkan presiden. Konsepnya takfir am, semua yang bukan kelompoknya dianggap kafir,” sebutnya.
Ali menambahkan, teroris bukan hasil dari hal instan. Teroris melewati proses panjang dan bertahap. ”Akar terorisme tidaklah tunggal, bahkan saling berkaitan. Karena itu, cara penangananya juga harus tidak tunggal. Melalui banyak aspek, perspektif, dan metodologi,” sebutnya. (ita)