Laboratorium Antropologi Untuk Riset dan Aksi (LAURA), Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM akan menyelenggarakan Festival Sumba tahun 2018.
Festival yang akan berlangsung 23 – 31 Oktober 2018 di Kampus UGM ini akan diisi dua kegiatan utama, yaitu Simposium dan Pergelaran Budaya yang bertema “Menyapa Indonesia, Merengkuh Tepi Bangsa: Resiliensi Wajah Sumba dalam Pusaran Zaman”.
Ketua Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA) Prof Dr PM Laksono MA, mengatakan festival budaya Sumba digelar dengan melibatkan banyak pihak dan diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran langkah strategis untuk kemajuan Sumba karena Sumba sampai dengan hari ini masih dihadapkan dengan banyak masalah.
Di Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur (NTT) terdapat resort termahal di dunia, namun juga ada rumah adat yang terbengkelai. Di sana masih ada masyarakat yang belum tentu bisa makan 3 kali sehari dan belum tentu bisa minum tiap hari dengan air yang segar.
“Mahasiswa asal Sumba bisa membandingkan dengan kondisi Jogja, mungkin Sumba mirip Jogja di tahun 1950-an. Tertinggal jauh karena itu dari diskusi yang tajam dan panjang diharapkan akan menghasilkan langkah-langkah strategis untuk semua pihak, terutama untuk memajukan kebudayaan Sumba. Karena bagaimanapun kemajuan kebudayaan akan menjadi motor dari perubahan,” ujar Laksono, di Gedung Margono, FIB UGM, pekan lalu.
Tema menyapa Indonesia, merengkuh tepi bangsa, menurut Laksono, adalah ungkapan metaforik dari ilmu antropologi. Ilmu antropologi bekerja di pelosok-pelosok dan di pinggiran-pinggiran masyarakat pada kasus-kasus yang terbatas.
“Hasilnya dalam bentuk etnografi berupa sapaan kemanusiaan yang jauh lebih luas dari sekadar kampung atau negara. Ini penting sekali terlebih pada hari-hari ini ketika pemerintah berkeinginan membangun dari pinggiran. Ibarat makan bubur panas, jangan sekali-kali dari tengah maka akan berhasil. Begitulah kira-kira filosofinya,” katanya, seperti dirilis Humas UGM.
Laksono menambahkan ada sekitar 3.000 mahasiswa asal Sumba di Yogyakarta. Jika saja seorang mahasiswa dalam waktu sebulan menghabiskan 2 juta rupiah maka mereka telah memberi kontribusi 6 miliar per bulan kepada DIY.
“Sumbangan mahasiswa dari daerah ini besar sekali maka dalam rangka menyapa yang tidak tersapa inilah festival digelar yaitu dengan semangat menghadirkan Sumba di Fakultas Ilmu Budaya UGM,” imbuhnya.
Dalam Festival Sumba yang berlangsung selama seminggu ini akan dihadirkan rumah adat Sumba. Selain itu, akan mendiskusikan sekitar 60 makalah yang terkait Sumba dengan kompleksitas permasalahannya.
“Isunya mulai dari keanekaragaman hayati bagaimana warga Sumba merespons menggunakan mediasi tradisional dan kultural, dan kepercayaan Marapu yang bisa bertahan panjang hingga kini. Selain itu, bagaimana Sumba menata keanekaragaman hayati bersama negara,” ungkap Laksono.
Apriawan, ketua panitia, mengatakan Festival Sumba tidak hanya mengkaji persoalan Sumba dari sisi akademis, namun juga menggelar budaya dan seni. Akan tampil pertunjukan seni kolaboratif komunitas seniman dan mahasiswa Sumba di Yogyakarta, diantaranya Wangak, Bottlesmoker, Deungalih, Humbakustik, Sasmoen, Om Jarang Pulang dan komunitas mahasiswa Sumba di Yogyakarta.
Ketua Departemen Antropologi Budaya Dr Bambang Hudayana MA menyambut baik penyelenggaraan Festival Sumba di FIB UGM. Kegiatan ini menunjukan LAURA Departemen Antropolgi FIB UGM berperan aktif untuk memajukan kebudayaan di wilayah kawasan 3 T (Teringgal, Terdepan dan Terluar). (ist)