Tari Bedoyo-Legong Calonarang karya Retno Maruti dan Bulantrisna Djelantik menyajikan idiom budaya Jawa dan budaya Bali secara signifikan dalam satu ruang pertunjukan. Mahasiswa Doktoral Fakultas Filsafat UGM, Riana Diah Sitharesmi, menemukan hakikat keberadaan tari ini melalui signifikansi pemahaman hermeneutis di dalam penyajian dan karya penciptaannya.
“Disertasi ini berangkat dari telaah Bedoyo-Legong Calonarang sebagai karya seni tari yang mendasarkan pada reinterpretasi atas tradisi dan kearifan lokal di tengah dinamika kehidupan pascamodern,” ujarnya saat mengikuti ujian terbuka beberapa waktu lalu.
Disertasi yang ia susun berjudul “Bedoyo-Legong Calonarang Karya Retno Maruti dan Bulantrisna Djelantik dalam Perspektif Hermeneurika Hans-Georg Gadamer Relevansinya dengan Estetika Seni Pascamodern”.
Proses penciptaan tari, ujarnya, melibatkan pengalaman yang holistis. Intuisi, kreativitas, dan insting merupakan kompetensi utama yang melandasi seluruh praksis dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam proses menata tari.
Metode penelitian yang ia lakukan bersifat kualitatif filosofis yang secara khusus menggali nilai-nilai eksistensial dan estetis tari tersebut sebagai objek material.
Investigasi kerja artistik dan analisis intertekstual kepustakaan dilakukan dalam alur hemeneutis hermeneutika HG Gadamer, dengan unsur-unsur metodis interpretasi, lingkaran hermeneutis, holistika, kesinambungan historis, komparasi, dan heuristika.
“Perpaduan cakrawala di dalam proses dialektika memahami Bedoyo-Legong Calonarang memungkinkan tiga aspek penting dari subjektivitas muncul, yaitu refleksi untuk mencapai pengetahuan diri, perwujudan untuk mempersonalisasikan pengetahuan diri ke pembentukan karakter yang berbeda, dan sosialisasi melalui tradisi,” terang pengajar di Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo ini.
Bedoyo-Legong Calonarang secara analogis ia sebut sebagai kendaraan dan ruang yang mengaitkan jenis subjektivitas untuk meliputi penggabungan cakrawala pengetahuan dari masa lalu, dengan cakrawala perspektif masa kini.
Budaya pascamodern telah memberikan peluang bagi Bedoyo-Legong Calonarang untuk mencapai wujud sejatinya. Hal ini berarti membawa tradisi menjadi suatu kebaruan yang tidak dangkal, dan untuk menumbuhkan nilai-nilai yang baik dalam jiwa tari sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Dengan cara menghargai heterogenitas dan keunikan, BLCA memiliki eksistensinya sebagai agen pembawa nilai estetika, nilai-nilai yang secara ontologis memungkinkan kontinum kebenaran.
“Keadaan yang senantiasa berada dalam mode of being, membuat Bedoyo-Legong Calonarang menempati ruang kontemporer, untuk selalu terbuka terhadap cakrawala lain, mempersiapkan lingkup dialogis lebih lanjut yang mengupayakan produksi makna baru lainnya,” jelasnya. (sak)