Pemerintah berkomitmen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 adalah APBN yang bisa menjaga ekonomi dan sosial masyarakat di dalam menghadapi ketidakpastian global yang makin meningkat karena adanya berbagai macam tantangan seperti gejolak mata uang, terjadinya perang dagang, dan berbagai situasi yang sekarang makin dinamis.
“Sehingga APBN harus didesain menjadi instrumen fiskal yang sehat, yang kredibel, dan prioritasnya makin tinggi,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kepada wartawan usai Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu (18/7) sore.
Untuk menerjemahkan hal itu, menurut Menkeu, pemerintah membuat desain APBN dengan defisit yang dirancang di bawah 2 persen. Namun cukup untuk tetap menstimulasi ekonomi dan menjaga masyarakat, terutama kelompok yang paling rawan.
Juga, lanjut Menkeu, untuk mengurangi peran rebalance yang negatif, yang selama ini dianggap bahwa pemerintah harus menjaga policy utangnya secara hati-hati.
Ditambahkan Menkeu, dalam pembahasan di DPR, baik di Paripurna maupun di Badan Anggaran sudah menunjukkan bahwa tren pengelolaan utang menurun secara sangat konsisten dan nyata, dan pemerintah akan meneruskan tren itu di 2019.
“Nanti jumlah defisit dalam rebalance tentu akan disampaikan Presiden pada saat Nota Keuangan,” ungkap Sri Mulyani seraya menyebutkan, Nota Keuangan akan disampaikan oleh Presiden pada bulan Agustus.
Presiden, lanjut Menkeu Sri Mulyani Indrawati, sudah beberapa sidang terakhir dan hari ini dipastikan bersama Bappenas melakukan exercises untuk menajamkan belanja barang. Ia menyebutkan, ada sekitar Rp 34,1 triliun dari pagu indikatif awal kementerian/lembaga yang dilakukan pendisiplinan, yaitu mengurangi belanja barang.
“Presiden meminta supaya Rp 34,1 triliun itu direalokasikan untuk belanja-belanja yang lebih prioritas,” kata Menkeu.
Dana Rp 34,1 triliun itu, menurut Menkeu, akan direalokasikan untuk sarana prasarana dari berbagai sekolah yang selama ini masih banyak yang rusak atau rusak sedang dan parah.
“Namun nanti di dalam hal implementasinya akan dilaksanakan oleh Menteri PUPR yang memiliki kapasitas teknis dan implementasi yang baik. Itu termasuk koordinasi dengan berbagai belanja untuk pembangunan sekolah-sekolah dan kelas-kelas yang rusak itu, baik di Mendikbud maupun di tempatnya Menteri Agama dan yang selama ini dilakukan di daerah melalui DAK (Dana Alokasi Khusus) fisik,” terang Menkeu.
Menurut Menkeu, DAK fisik tahun yang jumlahnya Rp 58 triliun ini, eksekusinya masih sangat rendah, hanya sekitar di bawah Rp 8 triliun. Sementara pemerintah berharap bahwa kalau anggaran sudah dialokasikan bisa dilaksanakan.
Oleh karena itu, lanjut Menkeu, Presiden menginstruksikan kepada Menteri PUPR untuk bisa menjalankan berbagai program yang sifatnya pembangunan fisik meskipun itu adalah anggaran pendidikan.
“Nanti Presiden akan mengeluarkan semacam inpres khusus agar untuk hal-hal yang sifatnya konstruksi dan pembangunan yang sifatnya fisik itu bisa dikoordinasikan dan dilaksanakan oleh kementerian, yaitu Kementerian PUPR,” ujar Menkeu.
Beberapa menteri yang lain, bahkan Menteri Perdagangan, lanjut Menkeu, juga meminta renovasi dan pembangunan pasar, terutama kalau terkena bencana alam, kebakaran, juga bisa dilakukan.
Jadi poinnya, lanjut Menkeu Sri Mulyani Indrawati, bahwa koordinasi antar menteri menjadi makin erat dan terorganisasi, sehingga tahun depan dengan uang yang ada bisa menghasilkan dampak yang makin terlihat.
“Dengan demikian, hasilnya itu bisa sebesar-besarnya akan nyata bisa dilihat oleh masyarakat. Apakah itu dalam bentuk bangunan sekolah, apakah dalam bentuk bangunan pasar, dan tentu infrastruktur yang lain,” terang Menkeu.
Khusus untuk insentif fiskal, Sri Mulyani menjelaskan, Kementerian Keuangan sekarang ini sedang melakukan inventarisasi dan me-review semua intensif-intensif yang diberikan kepada dunia usaha. Dengan demikian, lanjut Menkeu, bisa lebih akuntabel, menunjukkan dunia usaha apa mendapatkan insentif berapa, sehingga juga masyarakat bisa melihat hasilnya apa. (sak)