Sebagai cultural diversity nation, Indonesia memiliki kekayaan budaya yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Namun, perkembangan teknologi akhir-akhir ini menjadikan dunia seolah nyaris tanpa batas. Oleh karena itu, diperlukan pembekalan pengetahuan tentang bahaya fenomena dinamika akulturasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, AKU SUROBOYO! Sebuah ide program yang diusung mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini hadir dan diharapkan mampu sebagai solusi untuk menghindarkan bahaya terjadinya akulturasi bagi para arek-arek Suroboyo.
Adalah Raden Ngabay Bintang Permana Aji, Bayu Putra Munggaran, Qonitah Rafiusrani, Prima Tama Setyasa dari Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), dan Muhammad Rizki Agustiyan dari Departemen Teknik Infrastruktur Sipil yang mencetuskan ide AKU SUROBOYO! ini.
Bahaya fenomena dinamika akulturasi di Surabaya dikhawatirkan oleh tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) ITS ini.
“Dapat terlihat dari karakteristik masyarakat yang masih menanamkan nilai-nilai lokal sudah mulai jarang ditemukan, terutama pada generasi muda,” ungkap Prima Tama Setyasa, salah satu anggota.
Surabaya, sebagai kota dengan jumlah penduduk sebanyak 2.960.129 jiwa, tentu berpeluang menjadi titik berkumpulnya beragam kebudayaan yang berbeda-beda dari berbagai daerah.
Hal ini mengilhami lima mahasiswa tersebut merealisasikan ide AKU SUROBOYO!. Dengan menggandeng para pejuang veteran Surabaya dan Komunitas Benang Jarum Surabaya (etnografis), kegiatan ini difokuskan pada perkumpulan aktivis di SMA Negeri 6 Surabaya sebagai mitra inisiasi gerakan.
“Kami memilih SMA Negeri 6 Surabaya karena mereka merupakan sekolah lawas dan kawasan cagar budaya,” ungkap mahaiswa yang akan menginjak tahun keempatnya tersebut.
Tak hanya itu, melalui hasil penilaian kualitatif sederhana yang telah dilakukan, sebanyak hampir dua per tiga siswa-siswi SMA Negeri 6 Surabaya mengalami akulturasi.
Berbasis metode kepemanduan, pelaksanaan program AKU SUROBOYO! memiliki empat hierarki outcome dalam mengukur kepedulian siswa dan siswi terhadap budaya lokal, yakni mulai dari tahu, paham, peduli, dan berkelanjutan.
“Di akhir kegiatan, kami secara bersama- sama akan membuat pagelaran karya seni bertajuk Pemuda Berkarya yang bisa ditonton oleh umum untuk menggairahkan kembali animo budaya surabaya,” tutur pria kelahiran Sidoarjo ini.
Medianya, lanjut Prima, yaitu melalui teater boneka dengan cerita perjuangan yang dijelaskan oleh veteran dan disesuaikan dengan minat ekstra kulikuler masing-masing siswa.
Di akhir, Prima berharap dengan adanya kegiatan ini, kondisi mental yang awalnya rentan diharapkan dapat menjadi lebih baik hingga didapatkan manfaat jangka panjang, yakni para generasi muda yang tangguh terhadap bahaya akulturasi.
“Juga diharapkan dapat menambah kepedulian dan kecintaan bagi generasi muda bangsa terhadap budaya lokalnya,” pungkas Prima penuh harap. (ita)