Institute for Development of Economics and finance (INDEF) menemukan maraknya order fiktif di industri ride-hailing (ojek online) di Indonesia dalam survei yang melibatkan 516 mitra pengemudi dua perusahaan ride-hailing terbesar, Go-Jek dan Grab.
Para mitra pengemudi mengakui bahwa tindakan curang sangat banyak terjadi sehari-hari di lapangan. Hampir dua dari tiga mitra pengemudi (61%) mengatakan bahwa mereka mengetahui sesama mitra pengemudi yang pernah melakukan order fiktif (atau dikenal sebagai “opik”) untuk mencapai target jumlah perjalanan dan mendapatkan insentif.
Para mitra pengemudi yang melakukan tindakan curang menggunakan perangkat lunak GPS palsu, untuk memalsukan perjalanan dan menyelesaikan perjalanan tanpa harus benar-benar membawa penumpang dan mencurangi sistem.
Dengan menggunakan banyak nomor dan akun palsu, mereka berpura-pura menyelesaikan perjalanan demi mendapat insentif yang dijanjikan, setelah mencapai target jumlah perjalanan tertentu.
Order fiktif juga kerap dilakukan untuk menjauhkan mitra lain dari tempat tertentu. Hampir semua mitra pengemudi (81%) mengaku mendapat order fiktif setiap minggunya dan satu dari tiga (37%) mitra pengemudi mengaku mendapat order fiktif setiap harinya.
“Temuan survei lni cukup mengejutkan. Selain merugikan perusahaan ride-hailing, penghasilan para mitra pengemudi yang bekerja dengan jujur juga terdampak oleh perilaku ini. Survei kami juga menemukan bahwa lebih dari setengah (53%) tidak setuju dengan tindakan order fiktif yang dilakukan teman-teman mereka. Satu dari tiga pengemudi (34%) bahkan pernah secara aktif memperingatkan teman mereka yang melakukan tindakan order fiktif,” kata Berly Martawardaya, Direktur Proggram lNDEF melalui rilisnya kepada media di Jakarta.
“Tanggung jawab harusnya diemban oleh penyedia aplikasi ride-hailing untuk memberlakukan sistem keamanan yang lebih ketat untuk melawan tindakan curang. Para mitra pengemudi juga sependapat. Empat dari 10 mitra pengemudi (39%) percaya bahwa perusahaan aplikasi tidak mendeteksi fenomena oder fiktif curang dilapangan,” lanjut Berly.
Berly melanjutkan, ketika dijabarkan berdasarkan perusahaan aplikasi, mitra pengemudi Go-Jek menunjukkan tingkat kepercayaan lebih rendah kepada platform tempat mereka bernaung. “Karena hampir setengah dari mitra pengemudi Go-Jek (46%) mengatakan bahwa perusahaan tidak mengetahui atau mengetahui tapi membiarkan praktek tindakan curang,” ujarnya.
Sementara angka ketidakpercayaan untuk Grab juga cukup tinggi yaiu 30% dari mitra pengemudi menyatakan hal serupa dengan mitra pengemudi Go-Jek tentang platform Grab.”
Hasil survei juga menunjukkan bahwa 42% mitra pengemudi percaya bahwa Go-Jek adalah platform dimana order fiktif paling banyak terjadi. Sementara 28% mitra pengemudi mengatakan bahwa di Grab lah order fiktif lebih banyak terjadi.
Sebagai rekomendasi, Berly mengatakan bahwa sangat krusia bagi mitra pengemudi dan perusahaan ride-hailing untuk bekerja sama dalam melawan tindakan curang ini.
“Perusahaan harus mengembangkan teknologi yang dapat mendeteksi tindakan curang secara real-time. Perusahaan juga harus menjatuhkan hukuman seberat-beratnya untuk mitra pengemudi yang ketahuan melakukan tindakan curang,” tutupnya.
Survey ini melibatkan 516 orang responden mitra pengemudi kendaraan baik roda dua dan roda empat dengan metode non-probability/convinient sampling. Survey dilakukan pada 16 April – 16 Mei 2018 di Jakarta, Bogor, Semarang, Bandung dan Yogyakarta. (sak)