Pemkot Surabaya memastikan kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) dipengaruhi banyak faktor. Terutama karena perkembangan, pertumbuhan, dan investasi, serta transaksi jual beli di Surabaya makin naik.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pajak Daerah (BPKPD) Surabaya Yusron Sumartono mengatakan Pemkot Surabaya sudah membangun berbagai macam infrastruktur seperti saluran dan jalan-jalan.
Pengembang juga banyak yang membuka perumahan-perumahan di berbagai wilayah di Kota Surabaya. “Hal ini lah yang menimbulkan nilai jual rumah, tanah dan bangunan bergerak naik terus setiap tahunnya,” kata Yusron ditemui di ruang kerjanya, Selasa (17/4).
Menurut Yusron, karena nilai jual rumah, tanah dan bangunan naik, maka nilai jual objek pajak (NJOP) per meternya juga naik. Di dalam NJOP itu, ada level-level atau kelas-kelasnya, dan setiap level itu berbeda-beda besaran nilai jualnya.
Hal itu sudah diatur dalam Peraturan Wali Kota Surabaya No 73 tahun 2010 tentang klasifikasi dan penetapan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB di Surabaya.
“Tentunya, NJOP-nya itu dihitung dari adanya pertumbuhan dan perkembangan kawasan itu, sehingga apabila kawasan itu semakin tumbuh dan berkembang, maka objek pajak akan naik level dan otomatis nilai besaran NJOP nya juga semakin naik,” kata dia.
Setelah itu, ada yang namanya tarif PBB. Sesuai Perda No 10 tahun 2010, tarif PBB ada dua macam, yaitu 0,1 persen khusus untuk NJOP yang nilainya kurang dari Rp 1 miliar dan 0,2 persen khusus untuk NJOP yang nilainya lebih dari Rp 1 miliar.
“Sedangkan nilai PBB itu berasal dari NJOP dikalikan dengan tarif PBB yang sudah ditetapkan di dalam Perda. Jadi, karena NJOP-nya naik, tentu berpengaruh pada nilai PBB yang akan naik pula,” tegasnya.
Ia mencontohkan, jika nilai total NJOP Rp 900 juta, maka nilai ini dikalikan tarif PBB, yaitu 0,1 persen dan hasilnya Rp 900 ribu. Namun, karena kawasan di objek pajak itu semakin tumbuh dan berkembang, maka NJOP naik level hingga Rp 1 miliar, sehingga tarif PBB kena 0,2 persen.
“Jika dikalikan, hasilnya Rp 2 juta. Di sini, ada kenaikan yang signifikan hingga Rp 1,1 juta, karena memang objek pajak itu sudah masuk ke tarif PBB 0,2 persen,” kata dia.
Yusron menduga, kenaikan dua kali lipat itu yang menyebabkan banyak masyarakat mengeluh terhadap nilai PBB yang harus dibayar. Padahal, selama ini penetapan nilai PBB sudah di bawah harga pasar. Terbukti, jika dilihat di Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), tidak sama dengan harga pasaran.
“Hal inilah yang perlu dipahami oleh semua pihak. Apalagi, tarif PBB 0,1 persen dan 0,2 persen itu sudah diterapkan sejak tahun 2010 atau sejak Perda itu dikedok,” ujarnya.
Oleh karena itu, Yusron memastikan tidak serta merta menaikkan nilai PBB, namun hal itu dipengaruhi perkembangan, pertumbuhan dan transaksi di Surabaya yang semakin naik. Bahkan, ia memastikan bahwa semua yang dilakukan sesuai aturan. “Semua yang kami kerjakan sudah sesuai dengan peraturan,” tegasnya.
Disamping itu, Yusron juga menjelaskan bahwa apabila ada warga yang kurang mampu, bisa mengajukan permohonan keringanan ke BPKPD. Caranya, warga bisa datang langsung ke kantor BPKPD untuk mengajukan permohonan keringanan PBB.
Setelah itu, akan ada tim dari BPKPD yang akan melakukan verifikasi ke lapangan untuk menentukan layak atau tidak diberi keringanan PBB.
“Permohonan pengurangan PBB ini diatur dalam Perda No 12 Tahun 2016. Dalam perda itu diatur bahwa bagi warga yang kenaikannya mencapai 50-100 persen, dapat diberi potongan 25 persen. Namun, jika kenaikannya lebih dari 100 persen, maka potongannya hingga 50 persen dari kenaikan nilai PBB-nya,” pungkasnya. (ita)