Nilai ekspor kopi Indonesia ditarget naik menjadi lima kali lipat pada 2025. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bekerja sama dengan stakeholder lainnya mendorong pengembangan brand kopi nasional yang merambah ke pasar internasional.
Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf di ajang Indonesia-Africa Forum (IAF)2018 di Bali mengatakan Indonesia merupakan negara pengekspor kopi terbesar keempat di dunia dengan nilai ekspor mencapai US$ 1,36 miliar pada 2016.
Namun kebanyakan kopi yang diekspor adalah green bean. Oleh karena itu, berbagai upaya terus dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah kopi Indonesia.
“Melalui strategi yang berbeda dengan melibatkan semua stakeholders, kami mendorong pengembangan brand internasional sendiri untuk mencapai target peningkatan nilai ekspor hingga lima kali lipat pada 2025,” ungkap Triawan Munaf.
Pada acara yang diadakan 10-11 April tersebut, Indonesia membuka peluang kerja sama dengan negara-negara Afrika dalam bidang ekonomi kreatif (ekraf), termasuk kopi.
Apalagi pertumbuhan kelas menengah yang besar dan karakter pasar yang hampir sama di kedua wilayah memungkinkan adanya kerja sama pengembangan ekonomi dan inovasi pasar.
Triawan juga menyampaikan ekraf diyakini akan menjadi masa depan ekonomi global. Hal ini karena ekraf memberi peluang semua tingkat sosial untuk berkontribusi dan terlibat, tidak hanya yang memiliki modal. Apalagi revousi industri 4.0 yang memasuki era digital semakin memudahkan perkembangan ekraf.
Hal tersebut pulalah yang menjadi pondasi dibentuknya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada 2015 dengan visi Presiden Joko Widodo menjadikan ekraf sebagai tulang punggung ekonomi nasional.
Bekraf mengelola 16 subsektor dengan 3 subsektor prioritas, yakni film & animasi, musik, dan games dan pengembang aplikasi. Selain itu, ada juga 3 subsektor unggulan, yakni kuliner, fesyen, dan kriya. Selama tiga tahun terakhir, keenam subsektor tersebut memberi kontribusi 77% terhadap kontribusi ekraf terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Tercatat pada 2016, ekraf berkontribusi 7,44% dari PDB Indonesia atau sekitar Rp 900 miliar termasuk ekspor US$ 20 miliar. Keenam subsektor ini juga mempekerjakan 16,9 juta orang atau 14,2% dari total pekerja di Indonesia.
Industri film Indonesia mencatat pertumbuhan yang tinggi setelah dikeluarkan dari daftar negatif investasi di 2015. Selama dua tahun (2016-2017) lebih dari 240 film diproduksi.
Kebijakan ini juga mendorong penambahan jumlah layar bioskop dari 1.100 layar menjadi lebih dari 1.500 dalam dua tahun. Jumlah penonton meningkat dari 16 juta orang di 2015 menjadi 42,7 juta orang di 2017.
Penelitian Ernst & Young pada 2015 dari 11 sektor ekraf (TV, seni visual, koran & majalah, periklanan, arsitektur, buku, seni pertunjukan, permainan, film, musik, dan radio) secara umum memberi kontribusi pendapatan US$ 2,250 miliar dengen mempekerjakan 29,5 miliar pekerja.
“Angka tersebut sama dengan 3% dari GDP dunia dan 1% dari populasi dunia. Ekraf menunjukkan keunggulan strategi yang terus tumbuh bahkan saat krisis ekonomi dan keuangan global,” ujarnya.
Ekraf diyakini akan terus berlanjut dan tumbuh di masa mendatang mengingat bidang ini memungkinkan semua pihak berpartisipasi tanpa membedakan gender, usia, latar belakang, dan lokasi geografi.
Bisnis kreatif tidak lagi eksklusif bagi pemilik modal besar. Lokasi geografi juga bukan lagi penghalang karena dengan keberadaan internet memungkinkan seluruh talenta diseluruh dunia untuk berkolaborasi dan bekerja sama.
Bekraf juga mendorong ekraf nasional ke tingkat internasional dengan mengadakan World Conference on Creative Economy (WCCE) di Bali pada 6-8 November 2018.
Kegiatan ini akan menjadi momentum global untuk membantu meningkatkan kesadaran ekraf. Acara ini merupakan konferensi lintas stakeholder, diantaranya perwakilan pemerintah, swasta, pemikir, komunitas, organisasi internasional, media, dan orang ahli di bidangnya.
Tema yang diusung adalah Inclusively Creative dengan membahas empat isu utama, yakni kepaduan sosial, kebijakan dan regulasi, pemasaran, serta ekosistem dan pendanaan. (sak)