Bentuknya sangat sederhana namun tampak kokoh. Tidak perlu ketrampilan khusus untuk mengemudikannya. Di saat mengudara dengan kecepatan 80 mil/jam terbangnya stabil namun mampu melaju hingga 160 mil/jam.
Uniknya, bahan-bahan materialnya merupakan rongsokan yang tidak terpakai lagi. Itulah Si Kumbang, pesawat pengintai ringan bersenjata yang diberi nama NU-200 Sikumbang yang tertera di badan pesawat.
Saat ini, pesawat rancangan Mayor Udara Nurtanio itu dapat disaksikan secara langsung di Museum Pusat TNI AU “Dirgantara Mandala” setelah sebelumnya masih berada di kawasan pabrik PT Dirgantara Indonesia (PTDI) di Bandung.
Bodi pesawat serang antigerilya ini resmi menjadi salah satu koleksi museum yang terletak di Landasan Udara Adisucipto, Yogyakarta, sejak 17 Oktober lalu.
Penandatangan serah terima “Sikumbang” dilakukan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI Hadi Tjahjanto bersama Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia PTDI Sukatwikanto.
“Sikumbang adalah pesawat tempur pertama karya anak bangsa, Laksamana Muda Udara Anumerta Nurtanio Priggoadisurjo. Pesawat ini diberi kode NU-200 sesuai mesinnya yang menggunakan de Havilland Gipsy Six I berdaya 200 tenaga kuda. Penerbangan perdana dilaksanakan tanggal 1 Agustus 1954,” katanya.
Hadi menjelaskan bahwa Sikumbang punya sejarah yang dapat dibanggakan karena hanya terbilang sembilan tahun setelah Indonesia merdeka, pada 1 Agustus 1954, Angkatan Udara Republik Indonesia sudah sanggup membuat pesawat buatan anak bangsa dengan tipe pesawat pesawat tempur serang darat, untuk COIN, Counter Insurgency.
“Setelah diuji dan ternyata bisa terbang. Ini prestasi yang luar bisa di masa itu. Pesawat Sikumbang ini adalah kebanggaan kita pertama kali yang dibuat dengan tenaga asli Indonesia, yang makannya singkong,” kata Hadi.
Dalam sejumlah literatur, Sikumbang merupakan pesawat serang produksi LIPNUR yang juga cikal bakal IPTN (sekarang disebut PTDI).
Indonesia berhasil menciptakan pesawat jenis pesawat tempur untuk kepentingan angkatan udara Indonesia TNI-AU. Pesawat Sikumbang ini diberi kode oleh pembuatnya: X-01, yang merupakan pesawat low-wing monoplane di tahun 1954 sebagai COIN dan pesawat anti gerilya.
Pesawat ini mempunyai fixed tricycle undercarriage. Pilot duduk di dalam bubble canopy. Prototip pesawat berkapasitas satu orang ini, menggunakan mesin de havilland Gipsy VI berkekuatan 200 daya kuda.
Kemudian dibuat versi berikutnya yang dikenal dengan NU-225. Pesawat Si Kumbang-02 ini menggunakan mesin Continental O-470-A berkekuatan 225 daya kuda, dan juga berhasil melakukan uji terbang pada 25 September 1957.
Uniknya, pesawat serba logam dengan bertempat duduk tunggal yang dibuat sesuai dengan kondisi negara pada waktu itu hanya sempat diproduksi tiga buah.
Itu karena situasi negara pada saat itu masih mengalami pergolakan secara politik dimana terjadi banyak pemberontakan, hingga masalah keuangan negara sehingga mengalami penundaan.
Sekalipun ‘Sikumbang’ kini sudah tinggal sejarah, namun PTDI terus mengembangkan pesawat sejenisnya yakni N-219 yang sudah mengangkasa.
“Insya Allah kalau ada dana kita bisa memenuhi kebutuhan wilayah terpencil. Sehingga tujuan merajut Nusantara untuk daerah yang tidak bisa dilewati pesawat besar, bisa dilewati 219 yang adalah adiknya NU-200,” kata Hadi yang juga komisaris utama PTDI. (sak)