Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Bioteknologi yang tergabung dalam Konsorsium Peneliti Bioproses Biorefineri tengah fokus mengembangkan Super Mikroba untuk menghasilkan energi alternatif dengan rekayasa genetika. Super Mikroba ini berasal dari mikroba asli Indonesia.
Potensi mikroba lokal untuk dijadikan Super Mikroba amatlah besar, terutama guna mendukung teknologi proses untuk biorefineri.
“Secara sederhana, biorefineri sama seperti oilrefineri atau bahan bakar minyak dari fosil yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar atau sumber energi,” jelas Yopi, peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sekaligus Manajer Proyek Biorefineri kepada rekan media massa di sela-sela 4th International Symposium on Innovative Bioproduction Indonesia (ISIBio2017) beberapa waktu lalu di Bogor.
Yopi melanjutkan, biorefineri akan menjadi alternatif baru dan sesuai untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini karena biorefineri berbasis bahan mentah lokal seperti biomassa non-pati yang merupakan kumpulan biomassa hasil industri pertanian, kehutanan, perkebunan dan lainnya yang cukup melimpah di Indonesia.
Biomassa ini misalnya saja berasal dari sisa industri kelapa sawit, tebu yang menghasilkan sisa-sisa daun, tandan kosong dan batang tumbuhan, dan sebagainya.
“Dalam proses pengolahan biorefeneri (biomassa) untuk menghasilkan produk energi alternatif, membutuhkan mikroba untuk menguraikannya lewat rekayasa genetika. Super mikroba digunakan untuk menghasilkan enzim yang nanti dipakai untuk menghasilkan bioethanol atau produk turunan lainnya,” ungkapnya.
Yopi menjelaskan, dengan rekayasa genetika bisa menyeleksi satu hingga dua dari sekitar 2.000 mikroba lokal. Mikroba hasil seleksi itu dipastikan mampu memproduksi enzim yang bagus. Enzim yang bagus dari Super Mikroba akan membuat produk biorefineri lebih berkualitas dan efisien.
Dengan bahan biorefineri non-pati, dia menuturkan, harga produk energi alternatif seperti bioethanol diharapkan lebih bersaing dengan produk dari bahan bakar minyak (fosil). Tidak seperti dahulu, bahan biorefineri yang berasal dari pati, ternyata kurang kompetitif dibandingkan dengan bahan bakar minyak bila diterapkan di Indonesia karena harganya lebih mahal.
Hal ini tentu berbeda kasus dengan negara lainnya, seperti Brasil. “Brazil sukses membuat bioetanol dari pati dengan fermentasi mikroba. Untuk di Indonesia, pati mahal dan bersaing dengan pangan. Kita cari sumber biomassa yang tidak dipakai untuk pangan seperti biomassa non-pati seperti disebutkan sebelumnya,” tutur Yopi.
Konsorsium
Untuk diketahui, upaya mewujudkan produksi energi alternatif dari biomassa yang lebih murah dan efisien, para peneliti LIPI pun telah bekerjasama dalam Konsorsium Peneliti Bioproses Biorefineri guna melaksanakan riset biorefineri terpadu.
Konsorsium ini terdiri dari LIPI yakni Pusat Penelitian Bioteknologi, Pusat Penelitian Biologi, Pusat Penelitian Biomaterial, dan Pusat Penelitian Kimia. Kemudian ditambah dari Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia.
Dana riset dari konsorsium sendiri melalui program JST-JICA SATREPS Project (proyek pendanaan dari Jepang). “Salah satu fokus riset yang dikerjakan saat ini adalah pengembangan biorefineri terpadu dengan dasar pemanfaatan biomasa dari industri kelapa sawit dan tebu untuk produksi bioethanol dan bioplastik dengan menggunakan mikroba dan kode etik genetikanya,” kata Yopi.
Dikatakannya, telah pula dilaksanakan satu implementasi hasil riset biorefineri terpadu dari hasil kerja sama pada tahun ini, yakni antara Bioenergy Corporation Jepang dan PT Agricinal Indonesia, terkait pemanfaatan kelapa sawit untuk produksi biofuel. “Kami berharap implementasi tersebut membawa percepatan dalam pembuatan energi alternatif yang lebih efisien di Indonesia,” imbuhnya.
Yopi mengungkapkan pula, dari hasil riset terpadu konsorsium ini pula, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI mendapatkan sertifikat sebagai Pusat Ungglan Iptek Biorefineri Terpadu dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Sebagai pusat unggulan iptek, dia pun berharap teknologi biorefineri terus dikembangkan ke depan melalui jalinan kerja sama riset yang lebih luas. (sak)