Pura Besakih di wilayah Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangsem, Bali tetap melaksanakan persembahyangan seperti biasa meskipun Pura terbesar di Pulau Dewata tersebut masuk dalam kawasan rawan bencana (KRB).
“Persembahyangan rutin tetap dilaksanakan, namun hanya dilaksanakan satu atau dua orang pemangku (pemimpin ritual agama) dengan sistem bergiliran,” kata Bendesa Adat Besakih, Jero Mangku Widiartha, di Penataran Agung Besakih, Senin (2/10).
Ia mengatakan, persembahyangan rutin hanya melibatkan kalangan intern pemangku saja. Tidak mengikutsertakan krama atau warga Bali secara umum, termasuk warga lokal di wilayah Besakih.
Ia mengaku sangat menghormati imbauan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali kepada umat Hindu agar menunda pelaksanaan ritual “Nyegara Gunung atau Meajar-ajar” ke Pura Besakih, terkait status vulkanik Gunung Agung yang sudah level IV atau Awas.
Namun, Bendesa menegaskan bahwa Pura Besakih sebagai tempat suci harus tetap melaksanakan prosesi ritual keagamaan rutin, selain juga beberapa jenis “odalan” (ritual berkala) yang juga akan tetap dilaksanakan.
“Namun perlu kami tegaskan sekali lagi disini bahwa yang hanya dilibatkan hanyalah pengempon khusus ataupun petugas khusus saja. Kami ulangi sekali lagi bahwa imbauan pemerintah daerah terkait lokasi KRB sangat kami hormati, namun ritual agama pun harus tetap berjalan karena sudah menjadi prosesi rutin,” tegasnya kepada Antara.com.
Selain itu, terkait ritual “piodalan yang jatuh pada “Purnama Kapat” nanti diyakini juga sebagai momentum “ngrastiti” dan memohon petunjuk Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai dewata yang berstana di Besakih agar selalu melindungi umat dan warga umumnya.
Bendesa juga berkeyakinan bahwa Gunung Agung tidak akan meletus karena berbagai pertimbangan spiritual yang ada. “Kami yakin Gunung Agung bukan belum meletus tetapi tidak akan meletus dan ritual keagamaan akan tetap dijalankan,” demikian Bendesa Widiartha. Pura Besakih di Desa Besakih ditetapkan dalam zona KRB II karena berjarak sekitar sembilan kilometer dari puncak kawah Gunung Agung.
Pada letusan 1963, Pura yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat di Pulau Dewata dalam berbagai aktivitas kehidupan tersebut sama sekali tidak terkena aliran lahar. Pura tetap berdiri kokoh meskipun terdapat beberapa kerusakan kecil. (ant)