Masa kanak-kanak identik dengan bermain, rasa ingin tahu, hingga mencoba hal baru. Dengan segala aktivitas yang dilakukan, tentu membuat pola pikir anak terus tumbuh, baik secara psikis maupun motorik. Setiap anak memiliki kegemaran masing-masing, seperti bersepeda, memelihara hewan, hingga mengoleksi.
Maulana Ridho Aryanto, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) ini berhasil memanfaatkan kegemarananya memelihara hewan sebagai bisnis. Bisnis peternakan kucing dan reptilnya kini beromset ratusan juta rupiaqh tiap tahunnya.
Meskipun begitu, bungsu dari dua bersaudara ini memiliki pandangan bahwa apapun yang menyenangkan dapat menjadi bisnis. Uniknya, ia sudah memulai usahanya sejak di bangku sekolah dasar.
“Sejak kecil memang suka sama kucing, apalagi baunya yang ngangenin. Setiap pulang sekolah pasti saya mencari kucing-kucing saya. Bahkan Mama saya pun begitu,” tuturnya.
Bermula dari memunguti kucing di jalan, ia memutuskan berjualan apa saja demi menambah pundi-pundi uang untuk membeli kucing. Berkat kesabaran dan kerja kerasnya, ia mampu membeli sepasang kucing Persia.
Saat itu ia masih duduk di kelas enam sekolah dasar. Berjalan satu setengah tahun, ia terus menambah indukan. Baik yang bersertifikat maupun yang tidak bersertifikat. Setelah dilakukan jasa pemacakan, yaitu mengawinkan dengan kucing jantan milik orang lain, kemudian untuk pertama kalinya, ia berhasil menjual 5 ekor kucing, masing-masing seharga 12 juta.
Menurut mahasiswa kelahiran Surabaya, 16 Juli 1997 ini, kucing bersertifikat itu lebih pada perlindungan kepemilikan. Selain mendapat sertifikat kepemilikan, akan ditanamkan semacam micro chip pada tubuh kucing sehingga tidak akan tertukar.
Menginjak bangku sekolah menengah pertama, mahasiswa yang kerap disapa Barlan ini mulai tertarik dengan jenis Sphynx. Keputusan membeli Sphynx akhirnya jatuh ketika ia menginjak sekolah menengah atas, mengingat saat itu harganya tidak terlalu tinggi, seekor betina bisa dibeli seharga 15 juta.
Dalam beberapa kesempatan, Barlan juga berhasil menjuarai kompetisi yang diselenggarakan di Bandung, Jakarta, hingga Malaysia. “Untuk kucing, poin penilainya biasanya seputar kecantikan dan struktur tubuh. Sedangkan ular dilihat warna gen dan kecerahan warnanya,” tuturnya.
Selain memelihara kucing, dua tahun belakangan ini, Barlan mencoba peruntungan baru pada reptile jenis ular. Untuk pertama kalinya, ia mengimpor 3 ekor ular jenis ball phyton dari Amerika seharga 20 juta. Ia lebih memilih impor lantaran memiliki gen warna yang banyak, sekitar 4-6 gen warna.
Menurutnya, semakin banyak gen warna yang dimiliki membuat aksen warna pada kulit ular menjadi lebih indah.Terbukti, ular peliharaannya ditaksir oleh artis Lucky Hakim.
Dalam pemasaran, Barlan memilih media sosial facebook untuk bergabung dengan komunitas pencinta hewan. Selain itu, ia pun dengan telaten menawarkan pada teman-temannya. Untuk pangsa pasarnya pun tidak hanya di dalam negeri, namun sering kali di ekspor ke Kanada dan Australia.
Omset per tahun yang diperoleh dari penjualan kucing berkisar 100 juta, sedangkan ular lebih dari 100 juta. Untuk menjaga kualitas, ia pun mengeluarkan biaya perawatan sekitar 15 juta per bulan untuk membeli vitamin, makanan, hingga listrik untuk mengeringkan bulu-bulu kucing.
Sebagaimana dalam berbisnis, ia pun pernah mengalami kegagalan. Saat itu, ia mecoba untuk memelihara Bunglon, namun ia tidak bisa menetaskan telurnya sehingga terpaksa dijual.
Kedepannya, ia akan mencoba peruntungan lain yang kini sedang dirintis, yakni bisnis jasa perjalanan. Ia melihat ada celah-celah bisnis dari hobinya jalan-jalan, sebagaimana pribahasa sambil menyelam minum air. (ist)