Pesan Kepala Suku Arfak untuk Presiden
PEMERINTAHAN PERISTIWA

Pesan Kepala Suku Arfak untuk Presiden

Seorang laki-laki berkulit gelap berjalan menghampiri podium utama halaman Istana Merdeka, Jakarta. Tubuhnya hanya ditutupi oleh sehelai kain merah, dan dihiasi oleh berbagai macam kalung dan gelang, hasil kesenian alam Papua. Sebuah mahkota yang dibuat dari bulu-bulu burung Kasuari pun nampak menghiasi kepalanya.

Ribuan mata memandang kagum, tertuju pada keunikan “kostum” pria itu. Namun tidak banyak yang tahu kalau pria itu sebenarnya adalah Frans Manzim, Kepala Suku Besar Arfak, dari Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

Frans, atau yang biasa dipanggil “Tete” yang artinya “Kakek” dalam bahasa sehari-hari Papua Barat, baru saja menjadi pemenang pertama atas pakaian adat terbaik pada Upacara Penurunan Bendera Merah Putih Peringatan Kemerdekaan ke-72 Republik Indonesia.

Presiden Joko Widodo pun memberinya sebuah sepeda, juga pada keempat pemenang lainnya, yakni Ratna Dewi Juwita Budiono dengan pakaian adat Dayak, Yusak Rumambi dari Sulawesi Utara, Teuku Johan Marzuki dari Aceh, dan Sumahartati dari Bengkulu.

“Senang sekali. Karena baru pakai baju pedalaman Arfak ini masuk di suasana upacara bendera 17-an Agustus di Istana Merdeka, istana negara ini, langsung dapat hadiah,” ungkap perasaan Frans, saat ditemui Humas Kemensetneg di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (17/8).

Pria yang berusia 65 tahun itu mengaku, ini memang pertama kalinya dia memasuki Istana Merdeka. Dia datang langsung dari Manokwari untuk memenuhi undangan resmi Presiden Joko Widodo guna menghadiri Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan yang ke-72 Republik Indonesia. Namun, Frans baru datang pada upacara penurunan bendera pada sore harinya.

Kedatangan Frans tidak luput dari ajakan inisiatif salah satu cucunya yang juga menjabat sebagai Ketua Barisan Merah Putih Republik Indonesia Papua Barat, Leonardus Tuturop.

Mendengar bahwa peringatan kemerdekaan tahun ini dirayakan dengan pemakaian baju adat, Leonardus berinisiatif untuk mengajak Frans selaku Kepala Suku Besar Arfak untuk hadir di Istana Merdeka, Jakarta, dengan mengenakan pakaian adat asli.

“Kami bawa (Frans) ke sini untuk menunjukkan kepada negara bahwa kami di Papua Barat juga punya pakaian adat yang sudah mendiam sekian lama, yang belum pernah dikemukakan ke permukaan,” ujar Leonardus di kesempatan yang sama.

Setelah memenangkan penghargaan berupa sepeda, Leonardus mengatakan, rasa senang tidak hanya dirasakan oleh Frans, namun juga seluruh masyarakat Papua Barat. Dia berujar, kehadiran Frans di Istana Merdeka tidak hanya sebagai individu, namun juga untuk mewakili seluruh warga Papua, khususnya Papua Barat.

“Gembira sekali. Karena hari ini semua masyarakat kita dari Papua Barat lagi nonton. Ini saja mereka sudah kasih informasi. Syukur banget di Papua Barat,” ungkap Leonardus.

Sebagai pimpinan salah satu suku terbesar di Papua Barat, Frans memiliki kekuasaan yang cukup luas. Saat ini, kata Leonardus, jumlah penduduk yang dibawahi Frans bahkan sudah mencapai 500 ribu jiwa. “Kekuasaannya mulai dari Kantor Gubernur Arfai yang dibangun kodam juga sekarang, sampai ke arah pabrik semen yang dibangun di sana,” jelas Leonardus.

Kemerdekaan untuk Semua
Pemakaian baju adat pada peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia baru tahun ini diprakarsai oleh Presiden Joko Widodo. Berbagai apresiasi pun datang dari berbagai kalangan terhadap penerapan budaya baru tersebut, termasuk dari Frans.

Dia mengatakan, sudah seharusnya budaya pemakaian baju adat setiap peringatan kemerdekaan diterapkan sejak dahulu. Salah satunya agar pakaian-pakaian adat yang terkenal tidak hanya tersentral dari Jawa saja, namun juga dari suku-suku pedalaman di Indonesia.

“Kalau saya datang dengan pakaian biasa-biasa saja, Pak Presiden tidak tahu saya punya baju adat model bagaimana. Begitu saya pakai begini kan dia tahu, ini Pak Frans Manzim ini dari suku Arfak, Manokwari. Dia punya pakaian adat modelnya ini,” ujar Frans.

Untuk ke depannya, dia pun berharap agar Presiden serta jajarannya dapat menyelenggarakan perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang lebih meriah, dengan mengundang lebih banyak lagi perwakilan suku-suku yang tertinggal di bagian pedalaman dan pesisir.

“Dengan adanya undang mereka datang itu, mereka benar-benar mencintai republik ini. Mereka benar-benar memiliki hari kemerdekaannya,” tutup Frans. (sak)