Keberhasilan uji penerbangan perdana pesawat buatan PT Dirgantara Indoneia (PTDI) N219 tidak lepas dari kepiawaian dan tangan dingin sang pilot uji, Captain Esther Gayatri Saleh.
Sosoknya istimewa, tidak hanya karena pekerjaan yang ditekuninya, tetapi beliau juga menjadi satu-satunya pilot uji wanita yang ada di benua Asia.
Pilot uji atau test pilot adalah orang-orang yang melawan takdir, memastikan agar orang-orang yang berkendara dalam sebuah pesawat dapat terbang dengan aman dan nyaman.
Para pilot ujilah yang bertugas membawa pesawat dalam batas kemampuan ekstrimnya untuk menentukan batas aman yang dapat dicapai oleh desain inheren pesawat tersebut.
Hanya orang-orang yang punya kepandaian di atas rata-rata dan mengerti rancang bangun pesawat bisa menjadi pilot uji, serta memiliki perasaan dan kelembutan karena ia harus memahami seluk-beluk pesawatnya secara intim dan bahkan turut sumbangsih pikiran dalam desain pesawatnya.
Dengan latar belakang itulah, Esther Gayatri Saleh, sang Srikandi pilot uji, menjadi istimewa. Ia adalah salah satu pilot uji PTDI yang mencapai kasta tertinggi yaitu Experimental Test Pilot dan meniti karirnya benar-benar dari bawah di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Ia menjadi saksi ketika IPTN menghadapi hari-hari gelapnya dan kini bersalin rupa menjadi PTDI. Menjadi pilot uji sudah menjadi cita-cita bagi wanita kelahiran Palembang, 3 September 1962 tersebut.
Walaupun latar belakang pendidikan SMA Esther adalah jurusan IPS yang membuatnya ditolak masuk ke PLP Curug di tahun 1980an, tekad bajanya membuat Esther kemudian mengambil jalan menempuh sekolah penerbang di luar negeri untuk memperoleh lisensi PPL (Private Pilot License).
Sosoknya yang mungil kontras dengan ukuran pesawat yang harus diterbangkannya. Di negeri Paman Sam, Esther sekolah pilot sambil mencari pekerjaan sampingan untuk menambah uang saku yang seringkali telat datang.
Hanya dalam tiga tahun Esther sudah meraih lisensi pilot. Ketika ia melamar ke banyak perusahaan penerbangan, Esther serta-merta ditolak. Tidak hanya karena ia wanita, tetapi juga karena tinggi badannya kurang memenuhi syarat. Dua faktor minus ini sudah cukup jadi alasan bagi banyak perusahaan untuk menolaknya.
Hanya visi Prof Dr Ing BJ Habibie yang saat itu menjadi Menristek yang membawa Esther masuk ke dalam IPTN. Habibie yang visioner tidak mempermasalahkan Esther yang seorang wanita untuk menjadi pilot di IPTN.
Selama Esther mampu, kenapa tidak? Akhirnya Esther menjadi pilot uji pesawat sayap tetap yang diproduksi IPTN, mulai dari CN-212, CN-235, sampai varian yang dibuat ketika IPTN berubah menjadi PTDI seperti CN-235-220 MPA, CN-212-400, dan tentu saja N219.
Setelah meraih sertifikasi sebagai pilot uji, kini Esther tidak hanya dipercaya sebagai pilot untuk pesawat-pesawat baru PTDI, tetapi juga menjadi ferry pilot untuk mengantarkan pesanan pesawat buatan PTDI ke negara pembelinya. Tak sekali-dua kali Esther menghadapi situasi antara hidup dan mati pada saat melakukan ujicoba kemampuan pesawat PTDI.
Kalau tak percaya pekerjaan ini menantang maut, ingatlah kembali celakanya CN-235 yang jatuh di Gorda, Serang. Saat itu CN-235 sedang melakukan uji penerjunan kargo dengan metode LAPES. Karena pisau pemotong kurang tajam, kargo tergantung sehingga pesawat terbawa jatuh terhempas ke tanah. Pilot uji IPTN, Erwin Danuwinata, gugur bersama pesawatnya.
Captain Esther Gayatri Saleh tercatat sudah pernah mengantarkan CN-235 pesanan Angkatan Udara Korea Selatan, CN-235 pesanan Kepolisian Kerajaan Thailand, dan CN-235 pesanan negara Senegal. Semua diantarkan sendiri bersama set kru PTDI dengan penerbangan yang melintasi banyak negara.
Sungguh sebuah pekerjaan dan pencapaian yang sangat luar biasa. Dalam hal ini, walaupun terminologi kaku pahlawan tidak tepat untuk mendefinisikannya, tetapi Captain Esther Gayatri Saleh adalah seorang pahlawan dirgantara Indonesia, yang telah memungkinkan pencapaian teknologi Indonesia seperti N219 bisa mengangkasa. (aryo nugroho/ucweb.com)