Remaja sangat rentan melakukan perilaku seksual pranikah sehingga berdampak pada kehamilan dini remaja dan terjadinya infeksi penyakit menular seksual.
Jumlah remaja yang melahirkan kurang lebih 7,3 juta kasus di negara berkembang seperti Indonesia, sebanyak dua juta diantaranya berusia di bawah 15 tahun, sedangkan 3,2 juta remaja usia 15-19 tahun mengalami aborsi tidak aman.
Berdasarkan laporan BKKBN tahun 2013, remaja yang meninggal akibat kehamilan dan kelahiran sebanyak 70 ribu jiwa. Untuk itu, diperlukan upaya pencegahan melalui pelayanan keperawatan di sekolah.
Hal itu dikemukan dosen Prodi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM, Wenny Artanty Nisman, dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Kedokteran UGM, pekan lalu di ruang auditorium FK UGM.
Dalam penelitian disertasinya yang berjudul ‘Model Intervensi Pelayanan Sekolah dalam Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja’, Wenny mengatakan diperlukan adanya upaya peningkatan kesehatan reproduksi remaja melalui pendampingan mental dan pendampingan perilaku yang diberikan secara khusus di sekolah.
“Sekolah sebaiknya dapat memberikan pelayanan reproduksi dengan pendekatan terhadapa masalah kesehatan reproduksi remaja sehingga mamp memantau terjadinya perubahan perilaku remaja,” ujarnya.
Penelitian dilakukan dengan dua cara, penelitian kualitatif dengan wawancara dengan 16 guru, 13 orang tua dan 19 siswa.
Selanjutnya, penelitian kuantitatif dilakukan pada dua sekolah di Jogja melibatkan 134 siswa yang dibagi dalam dua kelompok, kelompok pertama sebanyak 68 siswa yang mendapat pelatihan keterampilan personal dan sosial dalam hal pendidikan kesehatan reproduksi.
Sedangkan untuk kelompok kontrol sebanyak 66 orang yang mendapatkan intervensi rutin pendidikan kesehatan reproduksi selama 6 bulan.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan adanya peningkatan nilai keyakinan pada remaja untuk mencegah seks pranikah terutama pada kelompok kontrol.
Lalu terdapat peningkatan perilaku pacaran yang sehat pada kelompok intervensi lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol.
Disamping itu, terdapat peningkatan perilaku untuk mengatakan tidak pada seks pranikah pada kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol justru mengalami penurunan.
“Terjadi peningkatan nilai kemampuan mengambil keputusan terkait dengan seks pranikah pada kelompok intervensi,” katanya.
Menurutnya, remaja yang mendapat intervensi kesehatan reproduksi lebih sadar dan serius memperhatikan kesehatan reproduksi.
Dukungan pihak sekolah menurutnya sangat penting apabila mampu melaksakan program pelayanan kesehatan perawatan di sekolah.
“Perlu adanya intervensi pelayanan keperawatan dengan pelatihan keterampilan personal dan sosial untuk meningkatkan perlaku remaja khususnya perilaku pacaran yang sehat, dan perilaku mengatakan tidak untuk melakukan seks pranikah,” pungkasnya. (sak)